Angkasa keluar dari kamar mandinya dengan handuk menggantung di leher. Air menetes-netes dari rambutnya yang masih basah. Lelaki itu duduk di sisi tempat tidurnya, untuk yang kesekian kalinya ia lagi-lagi mengecek ponsel.
Tidak ada apa-apa, biasanya notifnya selalu ramai oleh pesan dari satu orang. Namun, sudah hampir empat hari ini ponselnya tidak dibanjiri notif itu lagi. Bahkan, tidak hanya berhenti mengiriminya spam pesan, gadis yang biasa merecokinya itu benar-benar hilang dari pandangannya akhir-akhir ini.
Malam itu, benar-benar menjadi malam terakhir Angkasa melihat Rainne. Setelah malam itu, Rainne benar-benar tidak menunjukkan batang hidungnya barang sedikitpun di hadapan Angkasa. Cewek itu hilang entah kemana. Lenyap begitu saja. Di sekolah pun Angkasa tidak menemukan sosok yang biasanya rutin sekali merecoki hidupnya.
Angkasa mengacak-acak rambutnya yang masih basah, bahkan kepalanya masih terasa panas setelah ia berusaha mendinginkannya dengan mandi air dingin. Angkasa tidak tahu, ia tidak mengerti dirinya sendiri mengapa begitu memikirkan gadis itu. Padahal harusnya ia merasa damai karena ketenangannya sudah kembali lagi.
Ya, harusnya Angkasa senang dengan hal ini.
Harusnya.
Namun, tidak. Ia merasa ada titik kecil yang hilang dari hidupnya. Titik kecil yang tidak pernah ia sadari entah sejak kapan ada di sana dan ternyata bisa sebegitu memengaruhi hidupnya.
Angkasa meraih kunci mobilnya, ia merasa harus pergi ke rumah Fanya.
Dalam waktu singkat, Angkasa sudah sampai di depan rumah Fanya. Ia turun dari mobilnya dan berdiri di depan gerbang untuk beberapa saat. Ia menghela napas, merasa bingung sendiri sebenarnya apa yang sedang ia lakukan sekarang.
"Gue pasti udah gila," gumamnya pada diri sendiri.
Namun, karena sudah terlanjur datang, ia memutuskan untuk menghampiri pos satpam saja dan bertanya perihal keberadaan gadis yang terus bergentayangan secara menyebalkan di benaknya sejak beberapa hari terakhir ini.
"Permisi, Pak. Saya teman sekolahnya Rainne. Mau tanya, Rainne-nya sekarang ada di rumah?" tanya Angkasa tanpa basa-basi dan langsung to the point pada satpam yang sedang ngopi di posnya.
"Neng Hujan? Waduh, kayaknya masih belum pulang, Den."
"Kalau boleh tahu, dia lagi di mana, Pak?"
"Wah saya kurang tahu kalau itu. Terakhir pergi itu tiga hari yang lalu terus si Neng Hujan kayaknya buru-buru. Biasanya kalau nginep di rumah temennya juga enggak pernah lebih dari sehari, Den."
Angkasa terdiam. Sudah tiga hari gadis ini tidak pulang ke rumah, apa keluarganya tidak mencarinya?
"Emangnya orang rumah ini enggak pada nyariin dia, Pak?"
Tidak langsung menjawab, tapi satpam itu malah tersenyum tipis pada Angkasa. Sorot matanya pun terlihat berbeda menatapnya. Angkasa tidak bisa membaca ekspresi itu. Lama-lama, satpam itu menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan Angkasa.
Tiba-tiba saja gerbang terbuka dan sosok Fanya muncul di sana. Saat melihat sosok Angkasa, gadis itu tersenyum sangat lebar dan matanya langsung berbinar.
"Eh, Kak Angkasa? Ngapain, Kak?"
"Sekalian lewat, Kakak mau ngasih ini. Itu buku yang dulu kakak pake buat belajar olim."
Angkasa mengulurkan paperbag berisi buku pada Fanya. Gadis itu dengan senang hati menerimanya, terlihat sangat senang sekali.
"Makasih banyak, Kak."
Fanya tersenyum lembut pada Angkasa. Merasa amat tersentuh dan senang atas perhatian cowok itu padanya.
"Yaudah, kakak pamit pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...