Hujan masih belum berhenti, tapi Rainne tidak peduli. Ia terus berjalan, membiarkan tubuhnya lebih basah dari sebelumnya.
Gadis itu berhenti melangkah, masih belum jauh dari rumah Angkasa. Ia menunduk menatap pada flatshoes-nya, bermaksud menyembunyikan wajahnya yang sedang menangis meskipun tidak ada yang melihatnya.
Ia mengusap air matanya yang bercampur air hujan, berkali-kali. Kakinya sudah terlalu lelah berdiri, ia lantas berjongkok dan kini menenggelamkan wajahnya diatas kedua lipatan tangannya sambil terisak.
Ditengah tangisnya, ia merasa seolah hujan tiba-tiba berhenti berjatuhan di atasnya. Rainne sontak mengangkat wajah, ia mendapati sosok Angkasa berdiri menjulang di hadapannya sambil memegang payung transparan bermotif bebek-bebek kecil miliknya.
"Masih mau nangis?" tanya Angkasa dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.
Mula-mula, ekspresi wajah Rainne terlihat kaget. Ia lantas buru-buru mengusap wajahnya dan langsung berdiri, tidak lupa memamerkan senyum lebarnya pada Angkasa. Berusaha bersikap jika barusan ia tidak menangis sama sekali.
"Kok kamu tiba-tiba di sini? Nyusulin aku?"
"Iya."
"Eh?"
"Mau ngasih kado ulang tahun yang tadi lo pinta. Makanya, jangan nangis terus, lo jadi jelek."
Ekspresi wajah Angkasa saat mengatakan itu tidak berubah, tetap datar dan dingin. Tangannya terulur untuk mengusap pipi Rainne. Menghapus sisa air yang ia duga adalah air mata bekas gadis itu menangis. Tindakan Angkasa yang tiba-tiba seperti itu membuat Rainne seperti disambar petir. Gadis itu langsung mematung kaku tanpa berkedip untuk beberapa saat.
"Malah bengong."
Setelah mendapatkan sentilan di dahinya, Rainne barulah tersadar dari sambaran petirnya.
"Aduh! Tunggu, ini serius? Kamu percaya sama aku?! Iya? Kamu beneran percaya?" pekik Rainne heboh sendiri sambil melompat kegirangan.
Anggukan kepala Angkasa makin membuat gadis itu kesenengan. Saking senangnya, ia bahkan berniat memeluk Angkasa, tapi cowok itu dengan cepat menahan dahinya dan tidak membiarkan gadis itu memeluknya dengan keadaan seperti sekarang ini.
"Basah, Rainne!" tegurnya.
"Hehe, iya maaf. Soalnya aku seneng banget kamu percaya sama aku. Makasih ya, udah ngasih aku kado terbaik." Suara gadis itu agak bergetar di akhir kalimatnya, merasa terharu dan ingin sekali menangis lagi saking senangnya.
"Hmm."
"Ih cuek banget sih."
"Lo mau gue sahutin apa?"
Rainne malah tersenyum malu-malu dan memukul lengan Angkasa pelan. Lelaki itu keheranan dengan sikap Rainne yang mendadak aneh seperti itu.
"Udah 'kan?"
"Apanya?" Rainne bingung dengan pertanyaan dari Angkasa.
"Udah seneng 'kan sekarang?"
Gadis itu mengangguk dengan semangat lalu berkata, "Iya, udah seneng banget."
"Yaudah, ayo pulang. Gue anter."
"HAH?! Serius ga sih kamu? Ini bukan bulan april loh. Jangan jahat-jahat dong becandaanya, bikin ngarep tau."
"Mau pulang apa enggak?" tanya Angkasa tidak sabaran.
Rainne menepuk kepalanya sendiri, mencoba untuk menyadarkan dirinya barang kali ini hanya mimpi atau ia sedang berhalusinasi. Namun, sosok Angkasa yang saat ini masih memayunginya tidak kunjung pergi meski ia memukuli kepalanya sendiri berkali-kali. Yang artinya, ini sungguhan dan bukan halusinasinya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Ficção Adolescente[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...