Pusing, Rainne tidak tahu harus bagaimana agar Angkasa percaya padanya. Bahkan untuk sekedar mengajaknya bicara saja susah. Sudah berhari-hari Angkasa menghindarinya, Rainne juga selalu mencoba menghubungi, berusaha mengirimkan pesan penjelasan pada cowok itu tentang yang sebenarnya, tapi sepertinya nomornya juga diblokir. Pesannya tidak pernah dibaca, bahkan setiap kali ia menelfon pun tidak bisa.
Tentu saja Rainne tidak menyerah. Setiap ada kesempatan kecil pun, Rainne berusaha untuk mengajak cowok itu bicara, tapi Angkasa selalu berusaha untuk pergi. Bahkan sekali cowok itu pernah membentaknya untuk tidak menganggunya. Mungkin ia memang harusnya diam dulu dan membiarkan Angkasa menenangkan pikirannya untuk beberapa saat. Akan tetapi, Rainne khawatir. Sebab ketika ia berjarak dengan Angkasa karena masalah ini, Fanya jadi terus-terusan menempeli Angkasa.
Rainne mendesah sedih, dengan hati-hati ia memegang lengan papanya berharap itu akan memberikan kekuatan untuknya.
"Papa ... cepet bangun. Rainne takut, Rainne sendirian, Rainne cape," adunya sambil terisak kemudian.
Setelah mengabiskan waktu cukup lama untuk menangis, Rainne memutuskan keluar dari kamar rawat papanya untuk mencari udara segar. Ia benci menjadi cengeng, tapi ia sudah terlalu lelah dan tidak bisa menahan tangisnya lagi.
Langkah kaki Rainne membawanya menuju taman kecil milik rumah sakit, ia mendudukan dirinya di kursi panjang sambil mengamati beberapa pasien rumah sakit yang ada di sekitarnya.
"Tumben lo mau duduk di deket gue," celetuk seseorang yang kehadirannya tidak Rainne sadari sedari tadi.
Gadis itu menoleh ke samping kanan dan mendapati seorang cowok berpakaian pasein tengah menatap heran padanya.
"Lo ngapain di sini?"
Alis lelaki itu terangkat satu mendengar pertanyaan Rainne. Ia lalu mendengus geli.
"Lo enggak lihat kalau gue pasien?" tanyanya balik.
Rainne hanya menyahut dengan gumaman pelan dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Hening di antara keduanya, tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Benar seperti yang awalnya cowok itu bilang, jika situasinya berbeda mungkin Rainne akan memilih pergi dan tidak mau duduk di sini satu kursi bersama Riga. Namun, ia sudah telalu lelah untuk sekedar menghindari Riga dan memilih masa bodo saja.
"Gimana lo sama Angkasa sekarang?"
Riga memulai pembicaraan. Namun, pertanyaan Riga itu mengundang gelombang kesedihan Rainne datang kembali. Gadis itu sampai bingung untuk sekedar menyahuti Riga, ia hanya diam dengan ekspresi yang semakin terlihat sedih.
"Kayaknya lagi enggak baik-baik aja," gumam Riga.
"Lo 'kan temennya, masa enggak tahu apa-apa," sahut Rainne kemudian.
"Enggak tahu, beneran. Gue kelamaan di sini dan enggak tahu apa-apa."
Rainne menoleh sekilas karena nada bicara Riga yang dibuat sedih seperti itu. Memang sih, Rainne juga sudah lama sekali tidak melihat Riga di sekolah, ia pikir cowok ini sudah di DO atau apa, ternyata ia terdampar di rumah sakit entah karena apa. Kasian juga jika memang benar cowok ini sakit sampai harus dirawat selama itu. Pasti sakitnya cukup parah. Apa Riga kecelakaan? Rainne manahan diri untuk tidak terlalu kepo.
"Kasian banget sih lo ketinggalan gosip Epsilon paling hot. Padahal kalau lo tahu, lo pasti lagi ngehujat gue sekarang," ujar Rainne sok iba pada Riga.
"Kalau gitu spill dong. Langsung dan secara eksklusif dari objek gosipnya."
Rainne memundurkan wajahnya heran karena reaksi Riga yang seperti itu. Cowok itu merapat padanya dan menatapnya dengan penasaran. Rainne tidak bisa mundur lagi karena ia sudah duduk di ujung kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...