12. Malam ini ia tidak sendiri

1.3K 285 41
                                    


Hola September!
Semoga bulan ini ngasih banyak kebaikan buat kita semua!
Happy reading my beloved readers!

🌨

"Gue cape denger orang tua gue tiap balik ke rumah ribut mulu, kalau emang enggak mau balik ya enggak usah, toh gue juga enggak pernah maksa mereka buat selalu pulang ke rumah. Mereka enggak mikirin perasaan gue apa? Dikira enggak cape dengerin mereka ribut? Enek gue!" ujar Gaby untuk yang kesekian kalinya.

Entah sudah kali keberapa Gaby terus melontarkan kalimat yang sama, sebab memang hanya itu yang menjadi alasan kesedihannya saat ini. Wajah Gaby sudah tidak karuan karena menangis terus-terusan sedari tadi. Namun, sekarang sedikit melegakan Rainne karena air mata gadis itu sudah tidak berjatuhan lagi.

Jujur saja, melihat Gaby lagi-lagi dalam kondisi seperti ini, membuatnya kembali teringat bagaimana ia dulu.

Rainne mengusap punggung Gaby memberikan ketenangan. Ia sudah tahu lebih dulu rasanya seperti apa. Ia sudah mengalami hal itu lebih dulu dibandingkan Gaby, dan bahkan ia masih ingat bagaimana perasaanya setiap kali mama dan papa selalu bertengkar.

Sebelum sosok Blafckhole hadir, Rainne pernah ada di posisi merasa tidak memiliki siapa-siapa. Ia tidak tahu harus bercerita tentang kesedihannya pada siapa, sampai akhirnya ia memendam perasaan itu sendiri dan terbiasa menanggung semuanya sendiri. Saat itu, rasanya benar-benar menyedihkan.

Sebisa mungkin, Rainne selalu ada untuk Gaby dan memberikan support di saat keadaan sahabatnya itu tidak baik-baik saja seperti ini. Sebab, hal itu juga yang paling ia butuhkan dulu di kondisi yang sama. Rainne tahu bagimana rasanya ketika tidak ada satupun orang yang peduli, dan ia tidak mau Gaby merasakan hal yang sama dengannya. Setidaknya, saat ini Gaby masih memiliki dirinya.

"Thank's ya, Naomi. Lo selalu mau gue repotin cuma buat dengerin bacotan enggak jelas gue, sorry kalau gue ngeluhin hal ini terus sama lo," ujar Gaby pelan saat dirinya sudah merasa lebih baik.

"Apaansih, lo. Enggak apa-apa kali, gue malah seneng kalau lo terbuka sama gue. Pokoknya jangan lo pendem masalah lo sendiri, Gab. Lo punya gue, lo bisa cerita apapun sama gue. Meskipun sebenernya gue enggak bisa banyak bantu, tapi seenggaknya gue ada di sini buat ngasih lo dukungan dan mungkin bikin lo jadi lumayan lega karena ada temen cerita," ujar Rainne dengan ceria.

Apa yang ia katakan untuk Gaby, sebenarnya adalah hal yang ia inginkan juga. Rainne bukannya tidak mau terbuka pada Gaby, hanya saja ia tidak mau menambah beban pikiran sahabatnya itu. Keluarga Gaby sendiri tidak baik-baik saja, dan ia tidak mau menambahkan permasalahan dirinya itu kepada Gaby.

"Gue beruntung banget punya temen kayak lo. Gue tahu kok dengerin orang ngeluhin permasalahan keluarga gini tuh cape dan nguras energi lo, tapi emang dasarnya lo orang baik sih ya, bisa sabar banget sama gue. Sekali lagi thank's ya, emang cuma lo kayaknya yang mau nemenein gue mewek di kafe ini sampe dua jam lebih."

Hati Rainne dibuat menghangat, ia senang jika Gaby merasa beruntung memiliki teman seperti dirinya disaat orang lain menjauh dan menganggap dirinya rendah. Rainne tidak bohong jika ia menyayangi Gaby, dan yang akan terus ia lakukan adalah sebisa mungkin berusaha menjadi teman yang baik untuk Gaby.

"Gab, soal itu, mending lo ganti tempat mewek deh. Kayaknya mbak-mbak pelayannya udah enek tiap kali lo sama gue ke sini cuma buat numpang mewek berjam-jam," desis Rainne sambil melirik pada pelayan kafe yang sedari tadi terus curi-curi pandang kesal ke meja paling pojok dekat jendela yang mereka tempati.

"Dih sialan tuh mbak-mbak dempul, belum aja gue siram pake sambel itu muka belagunya. Pelayan kafe tapi kelakuannya begitu sama pelanggan, najis banget."

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang