Angkasa membaringkan dirinya di tempat tidur, satu tangannya menyangga bagian belakang kepalanya dan satu tangannya lagi sibuk memainkan ponsel. Sedari tadi ia berusaha untuk tidur, tapi ia tidak bisa. Alasannya, ia khawatir Rainne sakit karena hujan-hujanan tadi. Sialnya, gadis itu tidak membalas pesannya sama sekali, membuatnya semakin tidak tenang saja. Ia berniat pergi ke rumah gadis itu, tapi ini sudah malam dan rasanya tidak sopan.
Prang!
Suara benda pecah itu membuat perhatian Angkasa pada ponselnya teralihkan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan segera keluar dari kamar. Pasalnya, suara benda pecah itu terus-terusan terdengar.
Saat keluar dari pintu kamarnya, suara ribut-ribut terdengar. Teriakan mamanya yang tengah memaki-maki terdengar dominan.
"Kamu pikir aku enggak tahu apa yang kamu lakuin sama wanita itu, Mas? Kamu pikir aku bodoh?! Kamu pikir aku baik-baik aja dengan itu?!"
"Apa lagi yang kamu mau? Aku udah pecat dia! Masih belum cukup? Masih enggak percaya sama aku?"
"Meskipun kamu pecat dia, kamu tetap berhubungan sama dia! Jangan kira aku enggak tahu soal itu!"
"Cukup! Cukup! Aku enggak ngerti kenapa kamu jadi sensitif kayak gini, tenang Devina. Pikir pake kepala dingin. Lama-lama aku yang cape ngadepin sikap kamu yang berlebihan kayak gini!"
"Kamu cape sama aku?! Itu alasan kamu selingkuh sama wanita itu, iya?!"
"Devina cukup! Aku pusing tiap pulang kamu selalu ngajak ribut!"
"Kalau gitu jangan pulang! Pergi kamu! Urusi saja wanita itu!"
Angkasa berdiri tak jauh dari kamar kedua orang tuanya itu. Ia mendengar semua pertengkaran itu. Ekspresi wajahnya dingin, dengan sorot mata marah.
Sosok papanya keluar dari kamar mama dengan bantingan pintu yang sangat kencang dan meninggalkan mamanya menangis sendirian di sana. Angkasa terus menatapi punggung tegap sosok yang selama ini selalu ia kagumi dan sangat ia hormati itu semakin menjauh dan menghilang dari pandangan. Tangan Angkasa terkepal hingga urat-uratnya menojol terlihat. Ia marah, dan tentu saja merasa teramat kecewa.
Angkasa membuka pintu kamar orang tuanya dan melihat mama tengah menangis sambil terduduk di sisi ranjang. Melihat wanita paling ia sayang seperti itu rasanya hati Angkasa ikut hancur. Ia mendekat dan berjongkok di hadapan mamanya.
"Mama diapain papa?" tanya Angkasa pelan.
Wanita itu buru-buru menghapus air matanya dan memaksakan seulas senyum pada Angkasa. Ia menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan putranya tadi.
"Mama harusnya ngasih tahu Angka, harusnya mama cerita."
Wanita itu masih memaksakan seulas senyum dan mengusap punggung tangan Angkasa dengan lembut.
"Enggak apa-apa. Mama berisik, ya? Ganggu kamu belajar."
Angkasa ingin marah. Sungguh. Namun, ia tidak bisa mengeluarkan semua emosinya hanya untuk memaksa mama menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia kecewa karena mama yang memilih bungkam dan tidak menceritakan apa-apa padanya.
"Angkasa maafin mama, ya? Masalah mama sama papa jangan kamu pikirin, mama enggak mau kamu ikut campur dan mikirin hal ini. Ini biar jadi masalah mama sama papa, kamu jangan sampai kepikiran. Semuanya bakal baik-baik aja."
"Semuanya bakal baik-baik aja?" tanya Angkasa lagi. Meminta kejelasan untuk kalimat terakhir yang diucapkan oleh wanita yang melahirkannya itu.
"Ya, mama janji. Semuanya bakal baik-baik aja dan kembali seperti semula. Jangan terlalu khawatir. Mama enggak mau kamu kepikiran."
Tidak. Angkasa tidak bisa mengabaikan ini begitu saja. Angkasa tidak mungkin menganggap keributan ini sekedar angin lalu. Namun, nyatanya ia tidak bisa melakukan apa-apa bahkan sekedar meminta mamanya untuk bercerita. Mamanya memintanya untuk tetap diam dan tidak ikut campur. Mamanya hanya ingin ia tidak sedih dan kepikiran. Akan tetapi, hal itu malah semakin membuat Angkasa kepikiran.
Angkasa tidak menyahut apa-apa, ia lantas memeluk erat mama. Dalam hati ia berdoa agar semuanya benar-benar kembali seperti semula dan baik-baik saja seperti yang mama janjikan.
🌧
Dengan rambut dicepol asal, dan mengenakan setelan untuk tidur, Rainne berlari di lorong rumah sakit dengan terburu-buru. Wajahnya terlihat panik sekali dan matanya sudah berkaca-kaca karena pagi-pagi sekali ia mendapat pesan jika kondisi ayahnya semakin memburuk. Rainne yang panik bahkan tidak sempat mencuci wajahnya itu langsung bergegas pergi ke rumah sakit.
Di depan ruang rawat papanya, Rainne melihat seseorang pria dengan setelan kerja rapi baru saja selesai berbicara dengan dokter. Pria itu kembali masuk ke ruang rawat papa dan Rainne bergegas menyusul kemudian.
"Om Gio, papa gimana?" tanya Rainne panik bahkan tanpa mengucapkan salam atau basa-basi pada sahabat papanya itu.
Melihat bagaimana raut wajah pria itu dan sikap diamnya, Rainne tahu jika kondisi papanya saat ini semakin memburuk.
Rainne menarik napas pelan, menatap nanar pada papanya yang kian hari kian memburuk. Rainne tidak mau memikirkan ini akan berakhir bagaimana, selama ini ia selalu yakin jika papa akan melewati masa kritisnya secepat mungkin dan bangun lagi. Namun, keyakinan itu tidak pernah membuahkan hasil hingga saat ini. Rainne mulai meragukan keyakinannya dan takut jika papa akan benar-benar meninggalkannya sendirian.
"Om, gimana kalau papa enggak bangun lagi?" tanya gadis itu pelan dengan tatapan mata takut.
"Masih ada kemungkinan buat papa kamu bangun, Rainne. Jangan berhenti minta sama Tuhan, yakin kalau kamu akan diberikan yang terbaik."
Rainne diam saja, gadis itu menunduk seperti berusaha menyembunyikan matanya yang mulai menangis. Gio memandangi gadis kecil itu dengan wajah tanpa eskpresi, tapi sorot matanya menujukan rasa iba.
Gio tidak bisa menerka perasaan sedih gadis ini sebasar apa, tapi ia tahu jika perasaan sedih Rainne jauh lebih besar ketimbang kesedihannya melihat kondisi sahabatnya saat ini. Gadis ini sedari kecil sangat menyayangi ayahnya, dan keadaan sahabatnya yang tidak berdaya seperti saat ini pasti menghancurkan perasan putrinya.
Gio mengulurkan lengannya untuk mengusap pelan kepala dan bahu Rainne. Mencoba memberikan kekuatan dan dukungan yang tidak seberapa. Ia tidak suka melihat Rainne terlihat sedih berlebihan seperti ini. Rasanya seperti melihat putrinya sendiri yang menangisi dirinya. Gadis kecil ini memang sudah ia angap seperti anak sendiri. Ia menyanginya seperti ia menyayangi Angkasa.
"Makasih ya, om Gio. Cuma om Gio sama tante Devina yang peduli sama papa, sama aku juga. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa bales semua kebaikan yang om sama tante kasih buat aku," kata gadis itu sambil senyum pada Gio.
Mengangguk. Gio menepuk-nepuk kepala gadis itu dengan sayang. Ia tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Ia memang tulus menolong ayah gadis ini. Lagi pula, itu gunanya sahabat.
Dulu, Radit pun sering sekali membantunya dan Devina di saat masa sulitnya, dan ia tidak akan melupakan semua kebaikan dari orang itu. Apa yang ia lakukan saat ini, hanya hal kecil dari pertolongan yang Radit berikan padanya dulu. Sebab Gio pun tahu, tidak ada yang bisa gadis itu andalkan selain dirinya. Saat ini hanya Rainne sendiri yang peduli pada ayahnya, sementara ibu dari gadis ini sama sekali tidak akan peduli pada mantan suaminya.
"Rainne," panggilnya.
"Ya, Om?"
"Janji sama, Om. Kalau ada apa-apa di rumah, kamu harus bilang dan kasih tahu om atau tante Devina."
Rainne sesaat terdiam, lalu kemudian ia tersenyum kecil.
"Di rumah baik-baik aja kok, Om."
Semoga saja benar begitu.
🌧
Ih gue yang nulis tapi kok gue ikut khawatir ya :( kayak kasian aja gitu sama Rainne. ini kalau dia beneran idup di dunia novel pasti ngutuk gue abis abisan deh
spam next sini biar update cepet 😾
follow ig ;
fubyfilian
blafckhole
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...