18. Boneka & Piala pertamanya

1.2K 263 72
                                    

Sekitar pukul setengah tujuh malam, Rainne baru menginjakkan kakinya di rumah. Kepalanya ia tengokkan ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan para penghuni rumah. Sepi. Tidak ada satupun penghuni rumah yang ia temukan. Biasanya di jam segini ia akan menemukan sosok mama sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Tumben sekali hari ini rumah sangat sepi seperti tidak berpenghuni.

"Eh, eh, Mbak!" panggil Rainne saat melihat sosok Mbak Sinta berjalan dengan cepat sambil membawa setumpuk pakain yang sepertinya baru disetrika.

"Loh, Neng Hujan?"

Mbak Sinta menatapnya heran, Rainne pun ikut heran dengan tatapan Mbak Sinta yang seperti itu padanya. Ia merasa tidak ada hal yang aneh pada dirinya.

"Kok pulang?" tanya Mbak Sinta lagi.

"Mbak kenapa? Heran banget kayaknya liat aku pulang. Mama ke mana sih?"

"Kan Ibu sama yang lainnya makan malam sama keluarga besarnya Pak Farhan. Kirain Neng Hujan ikut."

Oh.

Rainne tersenyum tipis mengetahui hal itu, bukan senyum senang, tapi lebih tepatnya senyum miris. Ada perasaan mengganjal yang tiba-tiba datang, membuatnya merasa sedikit sesak di dadanya. Kecewa mungkin, ia sama sekali tidak diajak untuk mengikuti acara itu bersama mereka. Apa ia tidak dianggap keluarga? Apa mama setega itu sampai tidak menganggap dirinya ada?

Sungguh, keberadaanya di keluarga ini benar-benar menyedihkan. Adakah yang lebih buruk dari tidak dianggap ada di keluarga sendiri?

"HP aku mati, mungkin mama nelfon tapi enggak keangkat," kilah Rainne pada Mbak Sinta. Entah tujuan utamanya berbohong seperti itu untuk apa. Untuk mensugestikan dirinya sendiri, atau agar Mbak Sinta tidak berpikir yang tidak-tidak tentang hal ini? Rainne sendiri tidak yakin.

"Aduh, makanya Neng Hujan bawa powerbank biar gampang dihubungin. Yaudah sekarang mah Neng Hujan mandi dulu, Mbak bikinin makan malem, ya!"

Setelah mengucapkan itu, Mbak Sinta pergi membawa pakaian yang sudah disetrika. Rainne tersenyum kecil menatapi punggung Mbak Sinta, kali ini senyumnya tulus karena ia merasa senang. Setidaknya di rumah ini masih ada yang peduli padanya.

"Mbak!" teriak Rainne hingga membuat Mbak Sinta tersentak kaget.

"Ya Allah, Neng! Kenapa?"

"Hehe ... itu, mau tanya. Kiwi sama Leci udah dikasih makan belom?"

Mbak Sinta nampak menghela napas sabar. Lagi-lagi hanya Kiwi dan Leci yang diperhatikan oleh Rainne. Mbak Sinta sampai heran sendiri mengapa Rainne sesayang itu pada dua ikan yang hanya bisa berenang dan makan saja. Bahkan gadis itu lebih peduli pada ikannya ketimbang dirinya sendiri.

"Udah, Neng cantiiiik."

"Oke deh, makasih Mbak bohaaay. Udah sana gih lanjutin tugas negara Mbak," usir Rainne sambil cengengesan.

Mbak Sinta sebenarnya gemas ingin mencubit pipi Rainne, tapi ia masih ada pekerjaan dan langsung buru-buru pergi seperti suruhan gadis itu.

Masih di tempatnya, Rainne terdiam. Ia memutar badanya hingga dirinya menghadap sebuah foto besar yang dipajang di ruang keluarga. Itu foto terbaru keluarga mereka yang dipajang mama sekitar dua minggu yang lalu. Rainne ada di foto itu, bersama Fanya, om Farhan, dan juga mamanya.

Lama ia pandangi foto itu, sepertinya ada yang mengganjal di sana.

Benar, tidak seharusnya Rainne ada di foto itu. Mereka akan lebih cocok menjadi keluarga bahagia dengan satu anak maha sempurna seperti Fanya. Keberadaan Rainne di tengah keluarga bahagia itu benar-benar menganggu.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang