24. Sebenarnya, salahnya di mana?

1.1K 248 76
                                    

Rainne turun ke dapur dan menuangkan segelas jus untuk menghilangkan hausnya. Baru saja ia menenggak jus itu, ia dibuat tersedak karena kaget oleh bentakan Fanya di ruang keluarga.

Ribut-ribut itu tidak berhenti begitu saja, malah terdengar semakin keras. Di tempatnya, Rainne bahkan bisa mendengar dengan jelas apa yang diributkan oleh Fanya hingga membentak-bentak mamanya seperti itu.

"Fanya, kamu enggak boleh gitu dong. Mama kamu udah siapin semuanya buat kamu," tergur papa Fanya pada putri kesayangannya itu.

"Aku 'kan enggak pernah nyuruh buat siapin ini itu! Dari awal juga aku bilang kalau aku enggak mau ulang tahun aku dirayain!" bentak Fanya marah.

Rainne tidak heran lagi, gadis manja itu memang sering sekali marah karena hal-hal sepele di rumah ini. Ia yakin, orang-orang yang tahu image Fanya seperti apa di sekolah pasti akan kaget melihat sikap gadis itu aslinya sangat menyebalkan.

"Sayang, mama udah siapin semuanya. Fanya tinggal undang temen-temen Fanya aja, ini ulangtahun kamu yang ke 17 masa enggak dirayain? Fanya mau ya?"

Di tempatnya, Rainne setia mendengarkan ibu kandungnya itu berbicara pada Fanya dengan sangat lemah lembut dan penuh kasih sayang. Nada bicara yang sudah lama sekali tidak pernah ia dengar untuknya. Jika dibilang iri, tentu saja ia iri dengan sosok Fanya yang dispesialkan oleh mamanya.

"Enggak! Udah aku bilang gausah sok peduli!" bentak Fanya sambil berlari menuju kamarnya hingga terdengar bantingan pintu yang sangat keras sekali.

Tangan Rainne terkepal karena kesal. Sungguh ia ingin sekali menampar Fanya karena bersikap sejahat itu pada mamanya. Ia mendesah gusar dan melangkahkan kaki pergi dari dapur. Saat melewati mamanya yang terlihat sedih dan tengah ditenangkan oleh papa Farhan, raut wajah Rainne pun berubah sedih. Ia memutuskan pandangan dan melangkah pergi menuju kamarnya.

Buat apa sih mama sampai kayak gini? batin Rainne sedih sendiri.

Berhenti di depan pintu kamarnya, gadis itu mendesah pelan. Ia melirik ke kamar Fanya dan kemudian memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Dengan tampang songong dan tanpa dosa, Rainne membuka pintu kamar Fanya dan masuk ke sana. Ia bersidekap di depan pintu sambil menatap pada Fanya yang tengah duduk di atas tempat tidur sambil menatapnya dengan kesal.

"Masuk kamar orang seenaknya, sopan santun lo ke mana?"

"Lo aja enggak pernah berusaha buat bersikap sopan, nagapain gue harus sopan sama lo?" balas Rainne.

"Lo cuma numpang di sini, harusnya lo tahu diri dan jangan ngelewatin batesan lo."

"Enggak kok. Gue enggak numpang, gue emang udah jadi bagian dari rumah ini. Nyokap gue sama bokap lo nikahnya juga sah, bokap lo udah jadi bokap gue dan ini juga rumah gue. Gausah belaga lo yang jadi ratu deh," balas Rainne dengan santainya.

Rainne bisa dengan jelas melihat amarah di wajah Fanya saat gadis itu bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat. Ia yakin gadis itu pasti kesal setengah mati padanya. Namun, ia tidak peduli. Ia juga sama kesalnya terhadap sikap Fanya.

"Anak sama ibunya sama aja, sama-sama enggak sadar diri! Sama-sama enggak punya malu!"

Ingin rasanya ia mencabik wajah Fanya saat ini juga. Namun, hasrat itu mati-matian ia tahan. Alih-alih menumpahkan semua emosinya, ia malah tersenyum sinis pada Fanya.

"Aduh gue enggak tahu lagi deh dasar dari omongan lo itu apa. Gue juga heran kenapa sih lo itu sentimental banget sama gue? Padahal selama ini gue eggak pernah ngusik lo duluan."

Tidak ada sahutan dari Fanya, gadis itu malah terlihat semakin emosi saja raut wajahnya. Rainne membalas tatapan penuh permusuhan itu dengan raut wajah datar.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang