15. Alasan untuk menyukai seseorang

1.2K 276 95
                                    

Dengan sedikit berlari, Rainne mengikuti sosok Riga yang buru-buru pergi. Kaki panjang dan langkah lebar Riga membuat Rainne kesusahan menyusulnya. Napasnya bahkan sampai terengah-engah saat berhenti di depan toilet siswa.

"Aduh bengek gue lama-lama," keluh Rainne sambil memegangi dadanya. Ia menormalkan dulu tarikan napasnya sambil bersandar di pintu toilet siswa.

Tanpa berpikir panjang lagi, Rainne langsung masuk ke dalam toilet siswa. Beruntungnya, tidak ada siswa yang tengah buang air kecil di urinal. Hanya ada Riga di sana, berdiri di depan wastafel dengan wajah kaget menoleh pada Rainne yang tiba-tiba masuk.

"Lo gila? Ini toilet cowok!"

"Astaga darahnya banyak banget!" pekik Rainne kaget. Ia mengabaikan ucapan Riga dan malah melangkah mendekati lelaki itu.

Rainne malah semakin panik dan heboh sendiri saat melihat seragam Riga terkena darah. Ia merogoh saku celana olahraganya dan mengeluarkan kemasan tisu kecil yang selalu ia bawa untuk mengelap keringat.

Riga malah menatap Rainne yang seheboh itu dengan heran. Padahal ia cuma mimisan, tapi Rainne malah heboh seolah hidungnya lepas dari wajah. Ia menerima sodoran beberapa lembar tisu untuk mengusap sisa darah yang belum hilang.

"Sakit, ya? Sorry gue enggak sengaja," ujar Rainne pelan.

Melihat Rainne yang seperti itu padanya, ia malah mendengus geli. Aneh saja, Rainne Naomi yang ia tahu selama ini benar-benar antipati terhadapnya. Nyaris tiga tahun mereka di SMA Epsilon, Riga dan Rainne tidak pernah berinteraksi. Hanya selewat saja, sekedar kenal dan tahu eksistensi masing-masing. Rainne memang kadang nongkorng dengan anak Ecstasy, tapi saat Riga ada di sana juga, Rainne dan dirinya tidak pernah peduli pada keberadaan satu sama lain.

"Biasa aja dong mukanya, gue enggak apa-apa lagian."

"Eh gue tuh ngerasa bersalah tahu! Pasti sakit banget ketimpuk bola sampe lo mimisan gitu," tukas Rainne.

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Rainne malas sekali berurusan dengan seorang Riga Mahatir. Namun, karena memang disini ia yang salah, mau tidak mau ia harus tanggung jawab atas perbuatannya. Dan lagi, ia masih ingin hidup damai dan sebisa mungkin tidak mencari masalah dengan Riga yang track record kenakalannya di sekolah benar-benar parah.

Minta maaf, tanggung jawab, dan selesaikan dengan cepat. Setelahnya, Rainne tidak perlu lagi berurusan dengan seorang Riga Mahatir.

"Darahnya udah enggak keluar lagi, sana lo keluar," usir Riga sambil mendorong Rainne keluar dari toilet laki-laki. Masih tidak habis pikir Rainne seberani itu mengikutinya hingga ke toilet. Untung saja toilet ini memang sepi dan jarang digunakan.

"Ih lo serius enggak apa-apa?" tanya Rainne. Kepalanya ia tolehkan ke belakang, sedikit mendongak pada Riga yang tengah mendorong punggungnya untuk segera keluar dari toilet.

"Serius." Riga menjawab dengan cepat, agak sedikit malas juga dengan kebawelan Rainne.

"Beneran? Lo enggak diem-diem naro dendam sama gue, 'kan? Serius deh, gue enggak mau lo jadi ganggu gue gara-gara hal ini."

"Lah?" tanya Riga heran. "Ngapain amat gue ganggu lo, asli pede bener lo."

Keluar dari toilet, Rainne berbalik dan menghadap kembali pada Riga. Ia meneliti wajah cowok itu dengan seksama. Riga yang diperhatikan Rianne malah mengangkat satu alisnya heran.

"Yah pokoknya gue mau masalah ini clear. Gue tetep harus tanggung jawab, cepet buka baju lo," titah Rainne tidak sabaran.

"Wah, agresif juga, ya." Riga malah memiringkan kepalanya sedikit sambil tersenyum geli.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang