57. Tidak ada lagi yang tersisa

1.3K 305 376
                                    

Akhir-akhir ini, Rainne merasa sulit sekali tidur. Rasanya beban di kepalanya tidak kunjung pergi dan tidak bisa membuatnya tidur tenang. Padahal, beberapa hal sudah membaik, tapi permasalahannya dengan Angkasa tidak kunjung selesai.

Rainne hanya tidak ingin dibenci. Jika pun mereka memang harus berpisah, setidaknya semuanya harus benar-benar diselesaikan terlebih dahulu.

Waktu sudah menunjukan lewat tengah malam, Rainne meraih ponselnya dan terus mengirimi chat satu arah pada Messier. Namun, seperti pesan-pesan sebelumnya, tidak pernah ada balasan.

Orang itu benar-benar menghilang entah ke mana, padahal Rainne saat ini sedang membutuhkannya. Rainne merindukannya, dan ketika menyadari lagi-lagi ada yang pergi dari hidupnya, dadanya terasa sesak.

"Lo kemana? Kenapa lo ikut-ikutan pergi sih," gumamnya sedih.

Gulungan kesedihan itu terus menghantuinya semalaman dan tidak mau pergi sampai fajar menjemput. Rainne bangun dari posisi tidurnya sambil memijit kepalanya yang terasa pusing karena tidak bisa tidur sama sekali.

Ia melangkah menuju kamar mandi dan segera membasuh wajahnya. Untuk sesaat gadis itu mematung di depan wastafel, menatap pantulan dirinya yang berantakan di cermin. Ia tidak menyadari sedari kapan ia memiliki kantung mata, kulitnya pun terlihat kering dan kusam sekali.

Saat mendengar ketukan di pintu kamarnya, Rainne langsung keluar dan membukakan kunci pintu untuk mamanya. Wanita itu tersenyum padanya sambil membawakan roti dan segelas susu untuk sarapan pagi.

"Kalau mama inget-inget ... kamu jarang banget sarapan pagi," katanya dengan nada sedih. Mungkin keadaan Fanya saat ini membuat mama takut Rainne juga seperti itu. Ia khawatir pada putrinya.

Rainne tersenyum tulus pada mama lalu berkata, "Makasih, Ma. Nanti aku ambil sarapan aku sendiri, mama enggak usah cape-cape bawain buat aku."

Meskipun Rainne senang diperhatikan seperti itu, ia tidak mau merepotkan mamanya sampai harus mengantar makanan segala ke kamarnya. Ia bisa melakukan itu sendiri.

"Hari ini enggak ke sekolah?" tanya mamanya sambil membantu Rainne menyisir rambutnya yang berantakan.

"Enggak, Ma. Kelas 12 udah enggak ada KBM, paling ngurus soal kelulusan sama daftar univ."

"Kamu mau kuliah ke mana sayang?"

"Aku bingung ... mama maunya aku ambil jurusan apa?"

Wanita itu terdiam, tidak langsung menjawab. Setelah selesai menyisir rambut Rainne, wanita itu mencium kening putrinya singkat.

"Apa aja, mama enggak akan ngelarang apapun mimpi kamu," katanya tulus lalu menguspa kepala Rainne sebelum keluar dari kamar putrinya.

Sekarang, Rainne jadi bingung. Ia takut salah memilih, ia takut mengecewakan mama dan lagi-lagi tidak bisa membuat mamanya bangga.

Gadis itu menaruh kembali sisir rambutnya, tak sengaja tangannya menyenggol figura di meja riasnya hingga jatuh ke lantai dan kacanya pecah hancur berantakan.

Melihat figura berisi foto dirinya dan papa jatuh seperti itu, perasaan Rainne mendadak tidak tenang. Baru saja ia membungkukan badan untuk meraih bingkai yang hancur, ponselnya berdering tanda pangilan masuk.

Melihat pangilan itu ternyata berasal dari rumah sakit, debar di dadanya semakin tidak karuan. Ia menyentuh dadanya, berusaha menahan gelisah. Lalu ia menempelkan benda itu ke telinga. Saat mendengar apa yang dikatakan oleh penelfon, Rainne dibuat mematung kaku. Debaran di dadanya yang semakin kuat itu kini meledak, membuat Rainne merasa saat itu dunianya benar-benar runtuh seketika.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang