11. Kentang McD

1.6K 313 104
                                    

Saat membuka tirai jendela, ia langsung disuguhi pemandangan langit sore yang masih menjatuhkan rintik-rintik kecil air hujan. Gadis itu tersenyum lebar, berbalik dan menatap pada sosok yang berbaring lemah di brankar dengan berbagai macam alat penopang hidup yang menempel pada tubuhnya.

"Papa mau liat hujan, 'kan?" ujar Rainne ceria pada sosok yang sedang tertidur itu. Ia mendudukan diri di kursi samping tempat tidur sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.

Senyumnya tetap bertahan, ia tunjukkan pada sosok yang kelopak matanya senantiasa tertutup itu. Lama-lama, senyuman di bibirnya luntur. Lengkungan itu berubah berlawanan dengan sebelumnya. Matanya mulai berkaca-kaca, sesak kembali menyerang setiap kali ia memandangi sosok tidak berdaya papanya.

"Maaf ya, Pa. Kalau akhir-akhir ini Rainne jarang jenguk papa," gumamnya pelan.

Meskipun berkali-kali ia berada dalam situasi seperti ini. Nyatanya ia tidak pernah kuat dan tidak pernah terbiasa.

Ingatan tentang hari di mana papanya pulang dengan raut wajah yang dipaksakan bahagia atas pernikahan Mama dan Om Farhan kembali mengusik benaknya. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Papa tersenyum saat memberikan selamat atas pernikahan Mama, Rainne juga masih ingat dengan jelas saat papa memeluknya dan memberikan selamat jika ia akan memiliki keluarga baru yang utuh.

Sebutir air mata lolos dan buru-buru ia seka. Rainne tidak bisa tidak menangis jika kembali ingat hal itu. Karena setelah papa berbalik badan dan pergi dari tempat berlangsungnya acara pernikahan, papa mengalami kecelakaan dan berakhir seperti sekarang.

"Harusnya hari itu aku enggak kasih izin papa buat dateng," kata Rainne parau di sela tangisnya yang semakin menderas tidak sanggup ia tahan. "Harusnya papa enggak kayak gini sekarang."

Rainne berusaha menyeka air matanya yang terus berjatuhan, tapi hal itu percuma. Isakan tangisnya malah semakin kencang, ada yang terasa sakit sekali dalam hatinya saat ini.

Waktu itu, Rainne ikut terluka melihat ekspresi kebahagiaan yang dipaksakaan papanya saat wanita yang masih dicintainya itu telah menjadi istri orang lain.

Ingatan tentang kehancuran keluarganya mulai berdesakan lagi di kepala Rainne. Dimulai dari bisnis papa yang bangkrut, membuat mama yang terbiasa hidup enak jadi sering uring-uringan. Rainne yang saat itu masih duduk di kelas tiga SMP sering sekali mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Setiap hari ada saja yang diributkan mama. Sampai ia muak sendiri dan kasihan dengan papa yang selalu sabar menghadapi mamanya. Padahal papa sudah mengusahakan banyal hal, tapi ternyata itu tidak cukup untuk mama.

Hingga perceraian pun menjadi putusan final untuk keduanya. Rainne yang baru masuk SMA harus menghadapi perceraian kedua orang tuanya, membuatnya dijauhkan dari papa dan harus tinggal hanya berdua dengan mama. Sejak saat itu, hidup Rainne benar-benar hancur berantakan.

Tinggal berdua dengan mama, membuat Rainne jauh dari sentuhan kasih sayang. Mama terlalu sibuk bekerja, dan wataknya yang memang tegas serta gampang emosi membuat Rainne tanpa sadar menjaga jarak dengan wanita yang melahirkannya itu.

Rainne jadi tertutup, keduanya pun jarang berkomunikasi. Masing-masing dengan hidupnya sendiri. Ditambah saat mama mulai menjalin hubungan dengan Om Farhan. Wanita itu semakin sibuk dengan dunia barunya.

Sesungguhnya Rainne heran, untuk apa mama menginginkan hak asuhnya jika pada akhirnya ia sama sekali tidak diasuh. Dulu, Rainne sering diam-diam menemui papanya, sebab jika mama tahu ia akan sangat marah. Entah alasannya mengapa, Rainne pun tidak tahu.

"Pa, cepet bangun. Rainne kangen papa. Rainne mau tinggal sama papa aja nanti kalau papa udah bagun," ujar Rainne disela tangisnya yang masih belum reda.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang