21. Beauty Privilege

1.1K 255 81
                                    

Buyar, Fanya mendadak tidak bisa fokus pada soal di hadapannya karena posisi Angkasa yang sedang menjelaskan soal itu begitu dekat dengannya. Suasana hening perpustakaan membuatnya bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang berdebar tidak karuan.

"Ngerti?" tanya Angkasa setelah menjelaskan rumus untuk pengerjaan soal yang ditanyakan Fanya.

"Eh ... iya, Kak!" sahut Fanya cepat.

Angkasa Kembali ke posisi duduknya semula dan membiarkan Fanya mengerjakan soal terakhirnya sendiri. Ia membuka ponselnya dan melihat ada pesan masuk dari Rainne dua jam yang lalu, cewek itu mengiriminya spam pesan untuk pulang sekolah bersama dan diakhiri dengan emoticon sedih karena Angkasa tidak kunjung membalas pesannya. Setitik perasaan kasihan itu muncul, ia merasa sikapnya ini agak jahat. Angkasa sedikit kepikiran naik apa dan bersama siapa cewek itu pulang tadi. Ia menggelengkan kepala mengusir pikiran tidak penting itu dan kembali mematikan ponselnya.

Fokusnya ia alihkan kembali pada Fanya yang sudah selesai menggerjakan soal terakhirnya dan langsung ia koreksi. Setelah mengoreksi semua soal latihan untuk olimpiade matematika itu, Angkasa memberikan sedikit tips pada Fanya dan cewek itu memerhatikan dengan seksama seraya mengangguk-ngangguk tada mengerti.

"Hari ini cukup sampai di sini aja, jangan lupa banyak latihan juga di rumah. Kalau ada yang bener-bener enggak kamu ngerti, bisa langsung tanya."

"Iya, Kak."

Angkasa bangkit dari tempat duduknya disusul Fanya, keduanya melangkah meninggalkan perpustakaan. Saat sampai di parkiran, Fanya celingukan mencari mobil yang menjemputnya. Ia langsung mengeluarkan ponselnya kala tidak menemukan mobilnya di area parkir.

"Dijemput?" tanya Angkasa pada Fanya yang terlihat panik sembari mengotak-atik ponselnya.

"Enggak, Kak. Barusan supir aku ngabarin kalau mobilnya lagi di bengkel, kalau nunggu dijemput juga lama."

"Yaudah, kakak anter pulang," kata Angkasa sambil berlalu menuju mobilnya.

"Eh, serius, Kak? Enggak ngerepotin?" tanya Fanya ragu-ragu.

"Enggak. Ayo, keburu sore."

Sambil tersenyum, Fanya memasuki mobil Angkasa. Ini memang bukan pertama kalinya Fanya diantar pulang oleh Angkasa. Namun, entah mengapa kali ini ia merasakan perasaan senang yang berbeda. Apalagi saat teringat kakak tirinya juga menyukai lelaki yang mengantarnya pulang saat ini. Mungkin, perasaan senangnya saat ini didasari karena ia merasa menang.

Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada pembicaraan yang terjadi di anatara keduanya. Dinginnya Angkasa membuat Fanya kadang ragu untuk bersuara, takut jika topik pembicaraanya tidak disukai cowok itu, dan takut jika Angkasa tidak menanggapi. Maka dari itu ia selalu memilih diam setiap kali berada di dekat Angkasa karena menurutnya hal itulah yang disukai oleh cowok itu. Fanya tahu jika Angkasa suka ketenangan, dan ia memilih menjadi tenang yang disukai Angkasa.

Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membetur kaca mobil. Semakin lama rintik kecil itu berubah menjadi tetsan air hujan yang turun dengan derasanya. Suasana hening itu tetap melingkupi mobil yang dikemudikan oleh Angkasa. Hanya suara hujan yang mendominasi di sekitarnya.

Fanya yang duduk di sampingnya kini tengah asyik memandangi rintik hujan yang berjatuhan membentur jendela mobil. Sesekali ia melirik pada Angkasa yang ekspresinya tidak juga berubah. Tetap dingin dan terlihat serius menatap jalanan.

"Kak," panggil Fanya ragu-ragu.

"Kenapa?"

Fanya tersenyum tipis, menatap pada Angkasa untuk sesaat lalu menerawang jauh ke depan.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang