55. Ia hanya iri

1.1K 265 397
                                    

malem all, mau nanya dulu nih, dari angka 1-10, seberapa suka kalian sama cerita ini?

🌧

Ujian Sekolah untuk kelas 12 sudah berakhir, terhitung satu minggu sejak kasus foto masa lalu Fanya tersebar di Epsilon. Selama itu pula, Fanya sama sekali tidak mau datang ke sekolah. Setiap hari, Angkasa hanya melihat sosok Fanya yang terus-terusan murung di kamarnya.

Gadis itu sama sekali tidak mau keluar dari kamarnya, bahkan ia juga tidak mau memakan apa pun. Meskipun berhasil dibujuk makan, makanan itu kadang berakhir dimuntahkan.

Om Farhan sampai harus memanggil kembali psikiater yang dulu sempat menangani Fanya. Angkasa sudah diberitahu perihal kondisi Fanya oleh Om Farhan, tentang gadis itu ternyata dulu mengalami kasus bullying saat masih SMP oleh kakak kelasnya. Perundungan itu ternyata berdampak cukup parah pada mental Fanya. Itulah yang membuat Fanya terobsesi berubah hingga seperti sekarang ini. Gadis itu selalu takut jika berat badanya bertambah, ia takut jika orang-orang akan mem-bully-nya lagi seperti dulu.

Angkasa masuk ke kamar Fanya, gadis itu tengah duduk di sisi jendela sambil memandang jauh dengan tatapan kosong. Melihat gadis itu terlihat semakin kurus, Angkasa merasa kasihan.

Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Fanya. Gadis ini tidak baik-baik saja.

"Kakak kesini terus, enggak cape? Aku ngerepotin, ya?" tanyanya dengan suara pelan.

"Enggak apa-apa. Kamu mau jalan-jalan keluar?" tanya Angkasa karena Fanya hanya terus memandang ke luar dengan tatapan kosong.

Fanya menggeleng kecil.

"Hari ini udah makan?"

"Udah ...."

"Enggak dimuntahin lagi, kan?"

"Enggak kok."

Gadis menoleh lalu itu tersenyum kecil pada Angkasa. Sejauh ini, Fanya hanya mau mendengarkan omongannya dan mood gadis itu sedikit lebih baik jika saat bersamanya. Maka dari itu, Om Farhan benar-benar meminta tolong pada Angkasa untuk menjaga dan membantu putri kesayangannya. Tentu saja, Angkasa tidak punya pilihan untuk menolak.

"Kakak udah urus anak-anak kelas kamu dan laporin ke sekolah, Kakak juga udah pastiin postingan soal kamu dihapus, dan enggak bakal ada yang ngomongin lagi hal itu."

Mungkin hanya itu yang bisa Angkasa lakukan agar Fanya tidak mengkhawatirkan lagi hal itu. Semoga saja Fanya bisa secepatnya kembali seperti semula.

"Makasih kak," ujar Fanya tulus. Angkasa hanya mengangguk dan mengusap kepala gadis itu dengan sayang.

"Soal postingan itu ... bukan Rainne yang sebarin."

Mendengar itu, Fanya tersenyum kecil. Entah apa maksud dari senyuman itu, Angkasa bertanya-tanya.

"Fanya—"

"Kak," potong gadis itu. "Aku mau cerita sesuatu boleh?"

"Iya, boleh. Cerita aja, apa pun. Pasti kakak dengerin."

Gadis itu menatap Angkasa dengan tatapan sendu, ada senyum kecil yang bertahan di bibir pucat gadis itu.

"Aku jahat, ya? Mungkin aku harus minta maaf sama kak Naomi. Aku sadar kalau aku udah jahat banget sama kak Naomi. Padahal ... dia enggak pernah jahat sama aku. Aku cuma ngerasa iri sama dia. Dia punya hal yang enggak aku punya, dan dia selalu dapetin apa pun yang aku mau. Termasuk perasaan kakak. Aku iri karena Kakak lebih sayang sama kak Naomi dan selalu ada buat dia. Aku iri karena aku enggak pernah dapet perlakuan kayak gitu dari siapa pun."

Reaksi Angkasa terlihat biasa-biasa saja. Seolah ia sudah tahu dan mengerti alasan mengapa Fanya selama ini selalu bersikap tidak suka pada Rainne.

"It's ok. Enggak apa-apa. Nanti kamu coba ngobrol sama Rainne berdua dan minta maaf. Kamu juga enggak usah terlalu khawatir, kakak sayang sama kamu dan kakak bakal selalu ada buat kamu."

"Kakak janji enggak bakal tinggalin aku, 'kan?"

Angkasa terdiam. Ia benci berjanji, sebab ia takut tidak bisa menepati janji itu. Sama seperti janjinya pada orang lain yang ia buat hancur berantakan. Angkasa tidak mau mengecewakan siapapun lagi dengan janjinya. Akan tetapi, Fanya saat ini membutuhkan dirinya sebagai suport sistem, dan Angkasa tidak boleh membuatnya semakin terpuruk.

"Ya, kakak janji."

Lagi, ia menjanjikan sesuatu pada orang lain. Semoga saja kali ini ia tidak mengingkari itu.

🌧

Rainne cukup kaget dengan keberadan mamanya di kamar rawat papa. Ini pertama kalinya wanita itu menginjakan kakinya di tempat ini.

"Mama ngapain di sini?" tanya Rainne dingin.

Saat melihat sosok Rainne, wanita itu bergegas menariknya kedalam pelukan.

"Rainne masih marah sama mama? Mama minta maaf, maaf untuk semuanya sayang. Mama nyesel, mama enggak mau kehilangan anak mama," ujar wanita itu diiringi isak tangis kemudian.

Rainne tertegun di tempatnya, membiarkan wanita itu memeluknya erat sambil menangis terisak. Mendengar permintaan maaf wanita itu yang terus-terusan dan terdengar menyesal, hati Rainne seperti ikut diremas. Semarah apapun ia pada mama, ia tidak pernah bisa membencinya. Ia tidak suka mamanya menangis seperti ini. Tangannya terangkat dan membalas pelukan mamanya dengan erat.

"Rainne pulang, ya? Mama minta maaf, mama sayang Rainne, mama bakal perbaikin semuanya, tapi Rainne harus pulang. Kembali ke rumah, sama mama," pinta wanita itu sedih. Ia melepaskan pelukannya dan mengusap wajah putri kandungnya dengan sayang dan penuh penyesalan.

Sebenarnya Rainne ragu untuk pulang, ia masih takut untuk kembali karena beberapa alasan. Namun, ia juga tidak ingin terus-terusan merepotkan Gaby, meskipun sahabatnya itu berkata tidak keberatan.

Di sisi lain, melihat mamanya menangis seperti ini, hati Rainne dengan mudah dibuat luluh. Mungkin memang sebaiknya ia kembali pulang dan tidak keras kepala.

"Aku mau pulang, tapi boleh enggak aku minta satu syarat?"

"Apa pun, mama bakal sanggupin itu, asal kamu pulang dan kembali sama mama."

"Aku mau ... mulai saat ini mama yang tanggung jawab buat pengobatan papa, aku enggak mau terus-terusan ngerepotin om Gio. Mama bisa, 'kan lakuin itu?"

Ada banyak sekali alasan yang membuat Rainne meminta hal itu dari mama. Selain karena tidak ingin terus-terusan merepotkan om Gio dan membuat Angkasa selalu salah paham, ia juga ingin mama menaruh peduli pada papanya.

Selama ini, mama lepas tangan tidak peduli sedikitpun pada kondisi papa, mungkin alasannya karena om Farhan. Rainne ingin mama juga memerhatikan papanya, ia ingin mama peduli pada papa. Setidaknya sedikit saja.

Mama mengangguk lalu mengusap lagi wajah putrinya dengan sayang.

"Iya, mama bakal nurutin mau kamu. Apapun itu buat kamu."

Untuk pertama kalinya, Ayumi melihat wajah putrinya tersenyum padanya dengan mata berkaca-kaca. Rainne langsung memeluknya erat dan mengucapkan banyak terima kasih padanya dengan sangat tulus. Ayumi merasa gelombang kesedihan itu datang lagi. Ia bahkan sudah lupa kapan melihat anak gadisnya tersenyum seperti itu padanya.

Mungkin, selama ini ia sudah berjarak terlalu jauh dengan putrinya. Hingga membuatnya tersenyumpun ia tidak pernah. Diusapnya kepala Rainne dengan sayang, bahkan ia juga lupa kapan terakhir kali memeluk dan dipeluk putrinya seperti ini.

🌧

buat kedepannya bakal lebih adem sih kayaknya ....
kayaknya ....

aku mau siap-siap dulu biar enggak disantet kalian pas ngeluarin ending nanti huheheheh

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang