06. Apa pernah ia dianggap ada?

1.8K 341 166
                                    

Dengan rambut lepek terkena guyuran hujan, dan seragam yang kebasahan hingga menempel lekat pada tubuhnya, Rainne memasuki area rumahnya.

Di depan pintu, gadis itu membuka sepatunya yang sangat kotor dikarenakan sehabis bermain hujan-hujanan sepanjang perjalanan pulang.

Bertepatan dengan itu, pintu rumahnya dibuka. Rainne dengan bibirnya yang pucat nyengir lebar pada sosok yang muncul dibalik pintu.

"Aduh, Neng Hujan! Kenapa hujan-hujanan terus sih?" tanya Mbak Sinta khawatir sambil menepuk keningnya frustrasi. Pasalnya, semenjak Rainne tinggal di rumah ini, ia sering sekali pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Mbak Sinta tidak bisa mentolerir kebiasan Rainne yang seperti itu. Bukannya apa-apa, ia hanya khawatir.

"Asik tau, Mbak! Hayu deh cobain ujan-ujanan bareng aku!" ujar Rainne semangat empat lima meskipun wajahnya sudah sepucat mayat.

"Udah pucet gitu mukanya, Neng. Kalau sakit gimana? Nanti Bu Ayumi marah lagi loh."

Rainne malah tertawa. "Tenang aja sih, Mbak. Aku strong nih. Pawang hujan enggak bakal sakit, percaya aja deh."

Lagian, mama enggak sepeduli itu, batinnya melanjutkan.

Mbak Sinta hanya bergumam sendiri dan masuk ke dalam rumah, tidak lama ia pun kembali sambil membawa handuk untuk Rainne.

"Makasih, Mbak. Eh Kiwi sama Leci udah dikasih makan belum?" tanya Rainne sambil memasuki rumahnya. Pertanyaan yang selalu paling pertama ditanyakan oleh gadis itu pada Mbak Sinta setiap pulang ke rumah.

"Udah, Neng. Kiwi sama Leci aman deh. Mendingan sekarang Neng Hujan mandi, ya? Mbak siapin air anget," ujar Mbak Sinta sambil berlalu pergi.

"Mbak ih kok jadi ngerepotin! Aku bisa siapin sendiri," teriak Rainne tapi jelas tidak didengar oleh Mbak Sinta.

Rainne naik ke kamarnya, menyusul Mbak Sinta yang sudah terlebih dahulu pergi. Sambil melangkah dengan perlahan, ia memerhatikan seluruh penjuru rumah, tapi tidak menemukan siapapun di rumah ini. Entah kemana perginya semua orang, kamar Fanya juga terbuka lebar dan tidak ada gadis itu di sana.

Mengangkat bahu, Rainne masa bodoh dengan hal itu. Ia segera masuk ke kamarnya, tersenyum lebar, gadis itu berjongkok di depan akuarium berisi dua ikan kecil yang tengah asyik berenang-renang.

Belum sempat Rainne menyapa dua ikan kecil itu, Mbak Sinta langsung mendorong Rainne untuk segera masuk ke kamar mandi.

"Eh, Mbak. Orang-orang kok pada enggak ada sih?" tanya Rainne di ambang pintu kamar mandinya sambil menahan daun pintu yang hendak ditutup oleh Mbak Sinta dari luar.

"Lagi ke rumah sakit nganterin Neng Fanya, katanya enggak enak badan. Udah sana mandi dulu, nanti baju Neng Hujan sekalian mbak siapin. Sama mau makan apa? Sup jagung keju mau enggak?"

"Aduh kok Mbak perhatian banget sih sama aku? Aw jadi terharu deh," kata Rainne sambil senyum-senyum sok malu. Gadis itu bahkan mengedip-ngedipkan matanya genit pada Mbak Sinta sebelum menutup pintu kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Rainne mengembuskan napas lelah. Ekspresi wajahnya yang ceria langsung lenyap begitu saja, digantikan dengan raut wajah kusut yang terlihat sendu. Dengan gerakan pelan tanpa bertenaga, gadis itu melepaskan seluruh pakaiannya satu persatu. Ia lalu melangkah menuju bathtub dan berendam di sana.

Terdiam, gadis itu menatap kosong pada dinding di hadapannya. Ada banyak sekali hal yang berdesakan di kepalanya saat ini, membuat energinya benar-benar tersedot habis. Tidak hanya fisik, mentalnya pun terasa lelah sekali.

Memejamkan mata, Rainne membiarkan tubuhnya merosot hingga seluruh kepalanya terendam air. Hanya untuk beberapa saat, kepala gadis itu kembali naik ke permukaan. Merasa keadaan badanya semakin tidak mengenakan, ia buru-buru menyelesaikan mandinya.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang