Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Rainne tidak menghitungnya, entah sudah berapa minggu terlewatkan semenjak kepergian papa. Selama itu pun, Rainne merasa dirinya benar-benar menjadi hampa.
Tatapan gadis itu kosong menatap pada bangunan rumah sakit yang perlahan menjauh kala mobil yang ia tumpangi melaju. Bahkan, dirinya sendiri pun entah sejak kapan jadi merasa teramat kosong.
Tangan Rainne digenggam oleh seseorang, membuat kekosongan dalam dirinya perlahan dialiri dengan perasaan hangat. Rainne menoleh pada mama yang duduk di sampingnya sambil memandangnya dengan ekspresi khawatir yang berlebihan.
Rainne tersenyum, dengan pelan ia lalu berkata, "Rainne enggak apa-apa. Kenapa mama keliatan sedih terus?"
Mamanya tidak menyahut, hanya memaksakan seulas senyum sambil mengangguk. Namun, sorot matanya masih terlihat penuh kekhawatiran dan menatap lekat pada putrinya.
"Rainne mau ya, tinggal di Bandung? Kita tinggal sama Oma di sana, nanti Rainne juga lanjutin kuliah di sana aja, ya?" tanya mamanya. Lebih ke permohonan.
"Papa Farhan sama Fanya juga?"
Mama terdiam sesaat lalu menyungingkan senyum tipis yang terlihat jangal, Rainne tidak tahu alasan dibalik senyum itu apa. Namun, sepertinya memang ada hal yang terjadi dan ia tidak mengetahui apa-apa. Rainne mendadak jadi khawatir, sepertinya tindakan bodohnya kemarin-kemarin membuat mamanya terbebani dan kepikiran sampai selalu khawatir seperti ini padanya.
"Enggak, kita aja," kata mama kemudian dengan pelan.
"Mama kenapa sama papa Farhan?" tanya Rainne tidak enak hati.
"Enggak apa-apa, Sayang. Enggak usah kamu pikirin ya. Mama enggak mau kamu banyak pikiran."
Rainne tidak mau memaksa jika memang mama tidak mau menceritakan apa-apa padanya. Ia pun memilih mengangguk mengerti dan diam sepanjang perjalanan menuju ke rumah.
"Oh iya, Mama tadi pagi ke sekolah dan udah ambil surat kelulusan kamu," ujar mama memberitahu setelah keduanya terdiam cukup lama.
Rainne bahkan tidak ingat jika hari ini adalah hari kelulusannya sebagai siswa SMA. Mendadak ia jadi teringat Gaby, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu dengan sahabatnya itu. Rainne jadi takut Gaby mengkhawatirkannya karena tidak ada kabar dan menghilang tiba-tiba cukup lama.
Sampai di rumah, Rainne dituntun mama saat memasuki kediaman mereka. Mama benar-benar mendadak overprotective sekali akhir-akhir ini, dan selalu khawatir berlebihan padanya. Harusnya Rainne senang karena mama sekarang perhatian padanya, tapi entahlah. Perasaan hampa itu tidak mudah hilang begitu saja.
"Bu Ayumi," panggil Mbak Sinta dengan wajah panik.
"Kenapa Sinta?"
"Itu ... Neng Fanya tadi pingsan lagi, terus Pak Farhan marah-marah dan nyariin Ibu katanya enggak bisa dihubungin. Neng Fanya dibawa ke rumah sakit, katanya kalau Ibu pulang disuruh nyusul ke sana sekarang."
Rainne menoleh pada mama dan melihat ekspresi wanita yang melahirkannya itu terlihat lelah dan sedikit terlihat marah. Menyadari tatapan Rainne, mamanya lantas mengubah ekspresi dan tersenyum kecil sembari mengusap kepala anak gadisnya pelan. Seolah memberitahu bahwa Rainne tidak harus memikirkan apa pun tentangnya.
"Oh, iya ponsel saya lowbat. Kalau gitu, kamu jaga Rainne di rumah ya, Sinta. Saya mau ke rumah sakit sebentar," ujarnya cepat lalu berlalu pergi setelah mengusap bahu Rainne dengan sayang.
Gadis itu memandangi kepergian mama dengan sorot mata sendu, perhatiannya lantas teralihkan kala Mbak Sinta menyentuh lengannya dengan pelan.
"Neng Hujan udah enggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...