Untuk yang kesekian kalinya, Angkasa hanya bisa melihat Rainne menangis dari jauh. Bahkan gadis itu tidak kunjung berhenti menangis sejak di rumah sakit sampai sekarang ini.
Rasanya pastilah sangat menyakitkan, Angkasa bahkan sudah tidak bisa membayangkan rasa sakit yang terus diterima gadis itu sebanyak apa. Ia pun ikut andil di dalamnya, atau bahkan mungkin ia pemberi rasa sakit paling banyak untuk Rainne.
Setelah prosesi pemakaman selesai dan orang-orang mulai meninggalkan makam papa Rainne, gadis itu bersikukuh tetap di sana. Gadis itu menangis di atas pusara ayahnya dengan sangat memilukan, membuat Angkasa yang hanya memerhatikannya pun ikut bergetar merasakan gelombang kesedihan yang menyesakan dadanya.
Angkasa tahu ia sangat bodoh, ia sadar diri jika ia memang berengsek, bajingan, atau lebih diatas itu semua.
Kesalahannya karena tidak pernah mau mendengarkan, juga karena tidak mau sedikitpun menaruh peduli, dan selama ini dikendalikan oleh egonya yang terus memaksa untuk memercayai apa yang ingin ia percayai.
Rupanya, itu semua telah menghancurkan sosok yang sama sekali tidak bersalah. Angkasa sadar diri jika ia sangatlah jahat, karena menghakimi Rainne atas hal yang tidak gadis itu lakukan.
"Lo mau hancurin dia sampai gimana lagi, Ka?" tanya Riga. Nampak jelas sekali kekecewaan di wajah pucatnya. Sahabatnya itu sampai rela datang ke sini meskipun kodisinya sendiri sedang tidak baik-baik saja.
Sudah hancur, bahkan sepertinya Angkasa sudah menghancurkan gadis itu hingga nyaris tak menyisakan apa-apa. Ia layak dibenci, ia layak diperlakukan seperti sampah karena memang seperti itu adanya. Angkasa frustrasi, perasaan bersalahnya itu membuat ia benar-benar sudah hilang arah sekarang.
"Apa harus nunggu bokapnya mati dulu baru lo nyesel? Apa harus nunggu gue ikut mati juga biar lo sadar dan berhenti nyakitin dia?" tanya Riga.
Dialog satu arah itu menusuk-nusuk hati Angkasa dengan sangat menyakitkan. Angkasa ingin memeluknya di sana, meminta maaf atau bahkan jika perlu ia akan bersujud agar gadis itu memaafkan apa yang sudah ia lakukan. Namun, Angkasa bahkan tidak berani untuk mendekat. Sebab ia takut, kehadirannya di saat kondisi Rainne yang terpuruk seperti itu hanya akan membuat gadis itu semakin terluka.
"Gue enggak pernah minta banyak sama lo, gue cuma minta lo jagain dia. Sesusah itu emangnya?"
"Gue salah, Ga."
"Emang. Setelah lo sadar itu, apa lo tahu apa yang masih bisa lo perbaiki sekarang? Udah enggak ada, Ka."
Mungkin Riga benar, semuanya dalam diri Rainne sudah ia buat hancur berantakan. Untuk memperbaikinya, mungkin ia tidak memiliki kesempatan.
"Hidupnya bahkan udah berantakan sebelum lo hancurin. Seengaknya, kalau dari awal emang lo enggak bisa ngejaga dia tetep utuh, jangan lo hancurin."
Setelah mengucapkan itu, Riga beranjak pergi meninggalkan Angkasa sendirian masih di posisinya mengamati Rainne dari jauh. Laki-laki itu nampak tertegun. Sepertinya, kalimat terakhir Riga itu benar-benar menamparnya.
Kali ini, rasa bersalah dan penyesalan itu bukan hanya tertuju pada Rainne. Ia juga merasakan penyesalan pada banyak pihak. Angkasa tahu Riga menyukai Rainne dan selama ini menjaga gadis itu mati-matian. Melakukan banyak hal hanya untuk membuat gadis itu senang. Namun, ketika Riga mengatakan jika ia memercayai Angkasa untuk menjaga Rainne, ia justru menyakiti gadis itu. Bahkan, ia juga melanggar janjinya pada Queen.
"Maaf aja enggak akan cukup, 'kan? Apa yang harus gue lakuin, Rainne?" gumamnya pelan sambil menatap sendu pada punggung Rainne yang terus berguncang karena tangisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anonymous
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Seorang pernah bilang padanya, kehidupan itu selalu berputar. Tidak melulu di atas, juga tidak melulu di bawah. Hidup juga tidak hanya soal kesedihan, ada juga porsi berisi kebahagiaan di sana. Selama ini, Rainn...