"Pena."
Dean menatap pena yang dilemparkan oleh Ivan tadi. Dia baru ingat, kalau di dalam penanya ada semacam besi pipih yang digunakan untuk menyangga tempat tinta. Dan ternyata benar. Besi itu masih ada di sana. Hal itu membuat Dean memiliki cara untuk melepas kunci rantai. Entah Ivan tidak tahu akan hal ini atau pria itu sengaja memberi kesempatan bagi Dean.
Dean berusaha membuka kunci rantai yang membelenggunya dengan besi pipih yang berada di dalam pena itu. Setelah berhasil, Dean segera berdiri meski masih lemah. Dia berjalan tertatih menaiki tangga yang menuju ke atas itu. Tepat di ujung tangga, sebuah pintu dari besi kembali menjadi penghalang baginya.
Pintu itu tidak memiliki lubang kunci apa-pun. Kemungkinan, kunci pintu itu berada di luar, bukan di dalam. Hal ini membuat Dean kembali memutar otaknya.
***
"Kau masih memiliki waktu untuk memikirkannya, Eliza." Suara Ivan sukses membuat Eliza terbangun. "Apa kau benar-benar mau ikut? Tadi malam kau mengatakannya karena terbawa suasana saja, 'kan?"
Eliza terdiam.
"Apa bagimu, keinginanmu lebih berharga dari semua yang kau miliki saat ini? Apa kau yakin aku bisa terus membuatmu merasa bahagia?" tanya Ivan.
"Aku hanya sekedar ingin pergi. Rima adalah wanita yang menyebalkan dan Russel adalah pria yang biadab. Darah mereka masih mengalir di tubuhku. Aku tidak cocok tinggal bersama mama dan papa. Aku selalu membuat mereka malu." Eliza berbicara tanpa menatap Ivan. "Tapi, jika kau akan menganggapku sebagai beban, maka aku tidak akan ikut."
"Kita berada dalam dilema, bukan?" Ivan tertawa halus.
Eliza mengangguk.
"Kira-kira, aku hanya memiliki waktu sampai besok." Ivan melirik jam tangannya. "Dengarkan aku, Eliza."
Eliza mengarahkan pandangannya ke arah Ivan.
"Kita tidak akan bersatu di sini. Tidak semua orang mendapatkan cintanya." Ivan meremas kemejanya. "Tapi, kau tahu soal reinkarnasi?"
"Terlahir kembali setelah kematian. Memangnya kenapa?"
"Bisakah aku menunggumu di sana saja?" Ivan tersenyum kecut.
Eliza tersenyum miring. "Bagaimana jika tidak ada?"
"Memang aneh bagi orang sepertiku jika mempercayai hal itu. Tapi, aku benar-benar percaya. Ibunya Kak Franz mengatakan banyak hal semacam itu ketika aku kecil. Yah, setiap orang percaya pada beberapa mitos kontroversial semacam itu."
"Begitu, ya?"
"Aku akan pergi dulu. Hanya sebentar."
"Waktumu hanya sedikit, Ivan. Sebenarnya, apa yang kau lakukan?"
"Aku tak bisa mengatakannya. Pokoknya, ini penting."
Ivan kembali beranjak. Setelah beberapa saat, dia terdiam tanpa melangkah lagi. Pandangannya menyipit, tapi tetap terasa kosong. Setelah beberapa detik, dia merogoh saku di jasnya. Dia meraih sebuah revolver kecil dari sana dan kembali berbalik badan.
Dia menyerahkan revolver itu pada Eliza. "Kau bisa merubah keputusanmu kapan saja. Dan, jika tiba-tiba kau ingin membunuhku. Itu tidak apa."
Eliza menerima revolver itu dengan agak gemetar.
"Sampai jumpa," kata Ivan sebelum pergi.
Namun, tidak mungkin Eliza bisa membunuh pria itu. Dia segera melemparkan revolver itu ke sudut ruangan.
"Aku memang sinting."
~~~
Di sisi lain, Dean telah berhasil keluar dengan menjebol lubang udara dengan sekuat tenaganya. Jemarinya berdarah-darah karena hal itu. Dia juga terjatuh dari atas karena melompat dari lubang udara itu. Tenaganya sudah hampir habis. Tapi, pemuda itu tidak akan menyerah begitu saja. Dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan pasti dia akan mendapatkan tujuannya saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Angel [END]
Mistério / Suspense"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** Kehidupan Eliza Harada menjadi tidak tenang setelah kematian teman sekelasnya, Anastasya. Kematian secara tidak wajar itu menimbulkan rasa p...