"El, tunggu!" seru Dean.
Eliza masih tetap berlari dengan air mata yang mengalir dengan deras. Wajahnya mulai memerah. Dia tidak menghiraukan Dean yang berteriak-teriak memanggilnya. Hatinya kukuh ingin pergi ke tempat di mana Russel berada. Eliza tahu di mana rumah Russel meskipun dia tidak tahu apakah Russel berada di rumah atau tidak. Tapi, dia akan tetap ke sana.
Dean menambah laju larinya. Mau bagaimanapun, Eliza pasti kalah cepat dari Dean. Dean meraih lengan Eliza dan menghentikan gadis itu.
"Tenanglah, El! Lo jangan kayak gini!" Dean masih menahan lengan Eliza yang sedang mencoba untuk menangkisnya.
"Yan' biarin gue ngelakuin apa yang gue ingin sekarang." Eliza mencubit Dean dengan kuku. Hal tersebut membuat Dean melepaskan genggaman tangannya.
Eliza menjauhi Dean perlahan. Dia berjalan mundur dengan air mata yang masih mengalir. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa menghentikan Eliza yang akan pergi ke rumah Russel.
Semakin lama, Eliza semakin menjauh. Dean tahu bahwa mungkin sebaiknya dia tidak terlalu ikut campur dengan urusan kekeluargaan Eliza. Tapi, semuanya akan kacau jika Eliza menemui Russel. Dean terdiam,berfikir sejenak.
Bagaimana dengan mengubungi Hideki atau Hideo? Ah, tidak. Itu adalah ide yang buruk. Mungkin, kakak-kakak Eliza itu juga belum tahu tentang hal ini. Pikiran Dean langsung tertuju pada Vicky. Jika Eliza adalah anaknya Russel, maka Vicky adalah kakaknya dan mungkin Vicky juga sudah tahu masalah ini. Tepat sekali. Dia akan meminta nomer telephone Vicky pada temannya yang merupakan anggota OSIS.
Dean cukup beruntung karena dia diberi ponsel lama milik Kenny. Jadi, dia tidak membeli ponsel baru lagi. Dengan segera, Dean membuka ponselnya. Dia segera menghubungi temannya itu. Tidak perlu waktu lama untuk panggilannya tersambung.
"Hallo, Dean. Kenapa? Kayaknya penting banget?" Suara seorang pemuda terdengar dari balik ponsel itu.
"Gue nggak perlu basa-basi. Ini penting. Lo punya nomernya Vicky?" tanya Dean.
"Um, Kak Vicky ya... Nggak ada sih, tapi di grup OSIS ada. Ntar gue salin."
"Ya, ya, cepet!" Dean mematikan ponsel itu. Dia kembali menatap ke tempat Eliza berdiri tadi. Dia sudah tidak ada di sana. Pandangan Dean tertuju ke sana kemari, dia tidak menemukan Eliza di manapun. Kakinya melangkah cepat menuju jalan raya. Pasti Eliza sedang di sana---menunggu angkutan umum, lalu pergi ke rumah Russel. Tapi, bagaimana? Dia tidak memiliki uang lagi.
Eliza sudah sampai tepat di dekat seberang jalan raya. Dia menatap satu persatu angkutan umum yang mondar-mandir. Tapi dia ingat bahwa dia tidak memiliki uang sama sekali. Dia menghapus air matanya. Akan sangat memalukan jika dia menangis di tengah jalan.
Dari kejauhan, nampak seorang gadis yang cukup Eliza kenali. Gadis itu menggunakan motor berwarna kuning. Dia berjalan perlahan menuju Eliza.
"Eliza, kok di sini?" Gadis itu menghentikan motornya.
"Tessia..."
"Lo kenapa? Kok di sini? Kalau lo tanya kenapa gue di sini, jawabannya ya... rumah gue ada di sekitar sini." Tessia memperhatikan wajah Eliza yang memerah. Dia tahu Eliza habis menangis, tapi dia enggan menanyakannya.
Eliza menghela nafas panjang. "Mau ke mana, Tes? Sibuk nggak? Kalau nggak, boleh gue minta bantuan?"
"Nggak, gue cuma mau jalan-jalan aja. Kalau lo mau minta bantuan, gue siap kok." Tessia terkekeh.
"Mau anterin gue ke rumah seseorang? Gue tunjukin jalannya nanti."
"Oke. Cepetan naik." Tessia menepuk-nepuk jok belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Angel [END]
Mystery / Thriller"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** Kehidupan Eliza Harada menjadi tidak tenang setelah kematian teman sekelasnya, Anastasya. Kematian secara tidak wajar itu menimbulkan rasa p...