Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah jam sembilan malam dan aku masih di setengah perjalanan pulang ke rumah. Elnathan akan mengamuk dan membayangkan itu membuatku gelisah. Aku tahu bahwa aku yang tadi berjanji kepadanya akan tiba di rumah sebelum jam tujuh. Tetapi, lagi-lagi terjadi hal di luar kendaliku.
Ada sedikit masalah di bagian percetakan dan aku harus mendiskusikan hal tersebut dengan penulis karena kemungkinan penerbitan buku mereka akan diundur. Aku sudah memberitahukan tentang itu pada suamiku yang belakangan ini suka sensitif tentang jam pulang, tetapi tidak mendapat balasan darinya meskipun centangnya sudah berubah menjadi biru. Sekarang, aku bahkan tidak berani melirik ponselku. Takut dengan kemungkinan dia sudah meneleponku berulang kali atau takut menerima kekecewaan karena bisa jadi dia tidak menghubungiku sama sekali. Kemungkinan besar ketakutanku adalah yang kedua karena Elnathan yang sudah dalam mode sangat marah sekali akan mengabaikanku.
Perasaanku sedikit lega ketika taksi online yang kunaiki sudah memasuki komplek perumahan. Dan tepat ketika sudah tiba di depan rumah, aku buru-buru mengucapkan terimakasih dan turun dari mobil. Tetapi gerakan buru-buru itu tidak bertahan lama. Kakiku malah melambat ketika melihat mobil Elnathan terparkir di sana. Aku benar-benar takut sekarang.
Baru aku meletakkan tanganku di pintu untuk membukanya, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Aku terkesiap ketika melihat siapa yang membuka pintu.
"Haii..," ucapku lirih dan Elnathan yang juga kelihatannya terkejut karena aku sudah berada di hadapannya, hanya menaikkan alisnya. Dia bahkan tidak menjawab sapaanku. Melihat Elnathan yang mengenakan jaket dan kunci mobil di tangannya, membuatku menduga bahwa dia tadi sudah bersiap menjemputku. Hal yang biasanya selalu dia lakukan ketika aku pulang lebih lambat darinya. Meskipun tetap marah-marah tetapi Elnathan selalu memastikan aku kembali selamat sampai rumah. Tidak peduli bahwa itu akan sangat melelahkan baginya.
"Yang, maaf..." kataku dan Elnathan langsung membalikkan badannya dan melangkah meninggalkanku yang masih di depan pintu.
Aku menghela napas. Aku tahu Elnathan sangat kecewa kepadaku. Elnathan masih terus mendiamiku hingga aku selesai mandi. Dia juga tidak menjawab ketika aku menanyakan apakah dia sudah makan malam. Elnathan memilih menyibukkan dirinya dengan game di ponselnya.
Memberanikan diri, aku duduk di pinggir ranjang tempatnya berbaring. Dia masih tidak mau menggubrisku.
"El...aku tahu kamu marah banget sama aku. Maaf...itu benar-benar mendadak tadi. Bos aku dadakan minta aku meeting bareng penulis. Aku janji ini yang terakhir," ucapku dan Elnathan hanya melirikku. Oke...dia terlihat sangat judes sekali dengan tatapan itu.
"Yang...say something, please. Kamu jangan diemin aku kayak gini," bujukku lagi.
Sepertinya sadar aku akan terus mengganggunya hingga dia mau meresponku, Elnathan mematikan ponselnya dan segera berbaring membelakangiku. Aku mendesah kecewa. Bujukanku sepertinya tidak mempan.Tetapi karena ini adalah salahku, aku tidak akan mudah menyerah. Aku mengikutinya berbaring dan lagi-lagi memberanikan diri memeluk tubuhnya dari belakang.
"Aku janji ini gak bakal kejadian lagi, El," bisikku.
"Kamu gak capek janji terus?"
Tanpa kuduga Elnathan meresponnya tetapi dengan nada sangat dingin. Dia juga masih setia memunggungiku.
"Karena aku sendiri udah capek dengar janji-janji kamu," lanjutnya dan itu terasa sangat menohok hatiku.
"Aku udah gak mau marah-marah lagi soal yang satu ini ya, Em. Sekarang terserah kamu. Kamu mau kerja dari pagi sampai ketemu pagi, terserah kamu. Kamu mau kerja sampai lupa kalau kamu udah punya suami, terserah kamu. Tujuan hidup kamu memang itu kan? Sibuk pengen membuktikan diri entah untuk siapa. Aku yakin kamu udah jadi kesayangan satu kantor karena dedikasi kamu itu. Jadi go on, aku gak mau nanti buat kamu merasa gak aku dukung. Kalau memang hanya itu yang jadi kebahagiaan kamu dan buat kamu tenang, lakuin aja. Mungkin aku juga bisa ikutin langkah kamu buat nyari ketenangan aku yang lain selain kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~