'Aku udah nyampe kos, El. Baru aja.' Begitu balasan yang aku terima dari Emma setelah seharian ini aku memintanya menemaniku keliling Grand Indonesia mencari kado ulang tahun untuk mamaku. Emma menolak pada awalnya. Katanya dia tidak terlalu tahu selera orang kaya sepertiku. Demi Tuhan, aku ingin menjitak kepala Emma ketika dia mengatakan hal seperti itu. Pada akhirnya setelah berkali-kali mengganggunya dengan pesan-pesan penuh bujukan, Emma sebagai orang paling tidak enakan di dunia ini mau juga menemaniku.
Pertemuan tidak disengaja kami di coffe shop itu memang berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan yang disengaja hingga sekarang sudah dua bulan sejak pertama kali kami bertemu. Kami rutin saling berkomunikasi dan sedikit banyak bisa mengetahui bagaimana Emma. Satu hal yang terkadang menggangguku adalah Emma seringkali merasa minder berada di dekatku. Aku bisa menyadari itu, walaupun Emma tidak pernah mengatakannya secara langsung. Pernah entah karena refleks atau sengaja dilakukan oleh Emma, dia langsung sedikit menjaga jarak denganku ketika ada orang yang memandangi kami ketika berjalan. Emma juga tidak pernah mau aku mengantarnya pulang karena menurutnya tempat tinggalnya tidak cukup nyaman untuk menjamu tamu dan tidak memenuhi standar orang sepertiku. Jujur, aku terkadang kesal melihat sikap Emma itu, tetapi aku juga tidak bisa mengatakannya langsung. Aku tidak mau melebihi batas, tidak untuk saat ini. Aku takut dia kabur dan kemudian kehilangan teman curhat terbaikku selama dua bulan ini.
Iya, benar, sejak komunikasi kami semakin intens, aku seringkali bercerita kepadanya. Emma teman bercerita yang baik. Dia suka mengikuti perkembangan apa yang ada di dunia termasuk politik, musik dan film terbaru, atau isu apapun yang menurutnya penting untuk dia cari tahu. Mungkin pengaruh dari pekerjaanya juga. Emma mengaku bahwa dia bukan orang yang cerdas tetapi dalam pandanganku dia selalu mampu menyampaikan pendapatnya hingga orang yang mengobrol dengannya tertarik untuk berdiskusi.
Emma juga baik hati sekali. Dia tidak pernah mampu menolak permintaan orang lain dan selalu berhati-hati dalam berbicara agar tidak menyinggung lawan bicaranya. Entah magnet apa yang ada dalam diri Emma, tetapi itu selalu membuatku suka berada di dekat Emma. Emma tidak pernah bisa marah walaupun kadang aku suka iseng padanya secara berlebihan. Emma hanya akan mendelikkan matanya dan terdiam, tetapi tidak akan tega mendiamkanku ketika aku ajak mengobrol. Setiap kalimat yang diucapkan Emma juga selalu benar-benar bisa menenangkan perasaanku. Tidak ada nada tuntutan, nada menyalahkan, atau nada skeptis ketika aku mengeluh betapa melelahkannya pekerjaanku.
Emma memang perempuan sederhana, tetapi dia bersih dan rapi. Ciri khas Emma adalah menggunakan baju-baju berwarna pastel dan favoritnya adalah rok flared sepanjang lutut. Barang-barang yang Emma pakai tidak se branded teman-teman yang sering kutemui atau bahkan barang yang aku kenakan sendiri.
Emma bilang dia hanya mau membeli barang yang dia memang mampu beli dan dia butuhkan. Bahkan Emma tidak mempunyai kartu kredit atau dalam bahasa Emma, kartu setan. Menurutnya kartu itu akan mempengaruhinya untuk memiliki gaya hidup yang nantinya tidak mampu dia kendalikan, dan itu membuatnya takut. Prinsipnya, lebih baik menabung terlebih dahulu apabila menginginkan sesuatu dan dari situ aku tahu bahwa Emma pintar dalam mengatur keuangannya.
'Em, besok mau berangkat bareng ke kantor?' Aku mencoba peruntunganku kali ini. Sebelumnya aku sudah pernah mengajak Emma tetapi ditolak. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian di gedung tempat kami bekerja. Emma pernah bilang bahwa aku di cap sebagai most wanted guy di gedung kantor kami. To be honest, aku tidak pernah menyadari, bahkan tidak pernah mengetahui dan tidak merasa seperti itu. Aku akui memang sering disapa oleh orang-orang terutama pegawai perempuan, tapi bukannya itu wajar ya apabila disapa saat berpapasan?
'Enggak usah, El. Aku naik transjakarta aja. Kasian kamu jemput aku dulu padahal tempat tinggal kita jauh' Sudah kuduga balasan Emma akan seperti itu. Aku menghela napas. Untuk kesekian kalinya, jawaban-jawaban dari Emma, membuatku menyadari satu hal bahwa ada tembok pembatas yang sedang dibangun Emma di antara kami berdua dan komunikasi intens kami rasanya belum cukup untuk meruntuhkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romansa~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~