Emma- Healing Process (2)

2.7K 242 2
                                    

Nyatanya aku kesulitan mengerjakan apa yang disuruh oleh mbak Rina. Aku kebingungan menuliskan apa yang aku suka dan merasa bangga melakukannya. Aku suka menonton tetapi movie marathon dari pagi sampai malam bukan sesuatu yang dibanggakan, kan? Aku sebenarnya menyukai pekerjaanku tetapi menurutku itu juga bukan sesuatu yang dibanggakan. Banyak yang memiliki pekerjaan yang lebih baik dariku. Dan akhirnya hingga pertemuan minggu depannya, aku tidak berhasil menuliskan apa-apa. Aku sudah siap akan dimarahi mbak Rina, dan dia tidak melakukannya.

"Saya parah banget ya, mbak? Saya bahkan gak punya sesuatu yang bisa dibanggakan," keluhku.

"Bukan tidak punya, Em. Kamu hanya belum sadar akan hal itu. Kita telaah pelan-pelan, oke?"

Aku mengangguk pelan. Entah kenapa hari ini aku merasa malu sekali di depan mbak Rina karena tidak bisa menyelesaikan tugas yang seharusnya mudah.

"Kalau kamu lagi jenuh sama kerjaan kamu atau di waktu luang, kamu biasanya ngerjain apa?"

"Movie marathon, mbak. Kadang malah dari pagi sampai malam," jawabku cepat. Untuk yang satu itu memang rutin kulakukan karena aku terkadang muak terlalu banyak membaca buku-buku dari penulis yang aku edit.

Mbak Rina menggangguk, "saya paling gak cocok dengan nonton malah. Saya sering ketiduran bahkan di tiga puluh menit pertama filmnya. Biasanya setelah nonton itu kamu langsung fresh lagi gak sih?"

Aku mengangguk karena memang kenyataannya begitu. Bahkan menonton bukan hanya sekedar refreshing tetapi juga tempatku mencari inspirasi. Kadang beberapa adegan dalam film bisa menjadi ide yang kuberikan untuk penulis untuk ditambahkan dalam ceritanya.

"Kamu sebenarnya bisa tuliskan itu, loh," kata mbak Rina yang membuatku heran.

"Mbak, movie marathon itu kan kategorinya malas-malasan."

"Tapi yang mbak lihat di kamu enggak tuh. Kamu bilang bahkan bisa ngasih kamu ide baru. Gini deh, Em, yang pertama, gak semua orang sanggup movie marathon, saya contohnya. Kedua, kenapa kita gak bangga karena berhasil nge-refresh pikiran kita hanya dengan nonton bahkan sampai bisa ketemu ide baru lagi? Kamu ngerti kan maksud saya?"

Aku menatap mbak Rina sambil tersenyum malu. Aku tidak pernah memandang kebiasaanku movie marathon dari sisi seperti itu. Aku selalu menganggap itu pekerjaan yang mudah dan banyak orang yang melakukannya. Sudah, itu saja.

"Kamu pasti udah banyak ya, Em bantu penulis nerbitin buku?"

"Belum terlalu banyak sih, mbak. Soalnya masih beberapa tahun kerja. Tetapi beberapa waktu yang lalu ada yang berhasil best seller." Buku itu memang buku editan pertamaku yang berhasil best seller dan membuatku juga berkesempatan mendampingi penulisnya meet & greet di beberapa kota.

"Oh yaa?" tanya mbak Rina dan kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Penulisnya pasti berterimakasih banyak sama kamu, gimanapun kalau bukan karena kamu buku itu bisa jadi gak berhasil cetak."

Aku langsung menggelengkan kepalaku tidak setuju. "Itu karena penulisnya, mbak. Yang punya ide dan nulis kan dia."

"Tapi kalau kamu gak revisi belum tentu hasilnya sebagus itu kan? Gak usah takut untuk mengakui kalau kamu memang berperan dalam keberhasilannya, Em. Kecuali kalau kamu nge-klaim itu adalah karya kamu, baru salah. Kalau mbak ngelihat peran kamu di sini sepenting dosen pembimbing skripsi, Em. Kamu mendampingi dan memperbaiki hal-hal yang menurut kamu janggal, biar semuanya jadi relevan. Dan kamu harus sadar kalau kamu memang sehebat itu."

Entahlah, aku masih merasa asing dengan kebanggaan itu. Aku merasa itu memang adalah pekerjaan yang harus aku lakukan.

"Kamu harus tahu kalau kamu memang banyak berperan dalam kehidupan orang lain, Em dan percaya sama saya kalau ada orang-orang di luar sana yang bersyukur karena bertemu kamu."

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang