Elnathan- My Childhood Friend

2.8K 282 1
                                    

Hari Sabtu yang sangat menyenangkan. Menyenangkan karena ada Emma di apartemenku. Emma bersedia memasak untukku walaupun berkali-kali mengatakan kalau dia tidak mahir dalam bidang itu. Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli Emma bisa memasak atau tidak. Tidak ada kewajiban perempuan harus bisa memasak. Aku sendiri tidak pernah memasukkan kriteria bisa memasak dalam mencari calon istri. Memasak adalah hal yang sangat bisa untuk dipelajari dan apabila perempuan mau belajar itu adalah suatu langkah yang baik. Namun, kalaupun tidak bisa tidak apa-apa. Tidak semua orang memiliki minat yang sama terhadap masakan. Ada yang tidak bisa memasak tetapi pintar dalam mengatur rumah. Ada yang tidak bisa dalam urusan rumah tangga tetapi berbakat dalam bisnis. Intinya, tidak perlu memaksakan seorang perempuan harus bisa semuanya. Sama seperti laki-laki yang juga tidak bisa segalanya, maka harus bisa dimaklumi bahwa perempuan juga sama. Mama yang mengajarkanku tentang hal itu.

Mama awalnya tidak bisa memasak dan baru belajar ketika sudah menikah dengan papa. Saat itu, kondisi keuangan papa dan mama tidak cukup baik untuk bisa menyewa asisten rumah tangga karena perusahaan papa terancam hampir bangkrut.
Mau tidak mau, mama harus mampu mengerjakan pekerjaan rumah dan di saat mama juga masih harus bekerja di kantor. Mama mau belajar dan berusaha dan sekarang masakan mama tidak kalah rasanya dengan restoran di luar sana. Dan melihat Emma mau belajar memasak semakin menambah daya tariknya dan rasa respectku kepadanya. Kata Emma, dia belajar untuk dirinya sendiri dan karena sudah lama dia memang ingin belajar memasak. Selagi tidak merugikan, tidak ada salahnya belajar, begitu menurut Emma.

Aku sebenarnya bisa memasak dan mungkin lebih baik dari Emma. Tinggal sendiri di negara lain dan pernah part time di restoran di sana membuatku bisa memasak beberapa jenis masakan. Tentu saja aku tidak mengatakannya pada Emma. Bisa-bisa Emma malah kesal kalau aku mendiktenya cara memasak dan lebih parahnya menjauhiku dengan alasan paling tidak masuk akalnya itu, minder. Tidak, aku tidak mau mengambil risiko itu. Tidak masalah harus berulang kali makan masakan hambar seperti ini, yang penting ada Emma. Aku tahu sekarang aku terdengar seperti remaja ingusan yang baru jatuh cinta. Demi Tuhan, aku sudah 28 tahun dan yang sialnya terjebak friend-zone.

Emma kemudian bercerita bahwa dia bertemu dengan orang baru kemarin yang untungnya bukan seorang laki-laki. Dulu, mungkin aku bersyukur karena Emma dengan mudahnya memberikan nomor teleponnya kepadaku. Tetapi sekarang, itu menjadi hal yang mengkhawatirkan. Bagaimana kalau dia ternyata memberikan juga nomornya ke laki-laki lain yang ternyata juga berniat mendekatinya sepertiku? Membayangkannya saja sudah membuatku kesal. Hanya boleh aku saja yang mendekati Emma dan sekarang aku harus menutup peluang itu kepada laki-laki lain. Kebiasaan Emma memberikan nomor harus segera dia hentikan. Dengan perdebatan tentu saja, Emma akhirnya setuju dan aku tersenyum penuh kemenangan.

Emma boleh saja buta dengan banyaknya hal menarik dalam dirinya. Tetapi bukan berarti orang lain juga ikut buta dan aku tidak mau ada orang lain yang terjebak dengan pesona terpendam Emma. Cukup hanya aku saja.

Setelah mengantarkan Emma kembali ke kos dengan selamat, aku duduk di sofa untuk beristirahat sejenak. Perjalanan yang cukup panjang dari kos Emma ke apartemenku cukup membuatku lelah. Mataku tertumbuk pada majalah yang tadi ditunjukkan Emma. Aku memperhatikan dengan seksama wajah perempuan yang ada di sampul itu. Entah kenapa, ada rasa familiar yang muncul di pikiranku melihat raut wajahnya. Bukan karena kejadian di kafe, tetapi karena dia terlihat mirip seseorang di masa kecilku. Mungkinkah dia putri dari pak Tanuwijaya? Aku kembali teringat bahwa aku juga bertemu dengannya di depan ruangan pak Tanuwijaya, tetapi aku tidak pernah tahu bahwa putrinya bekerja di sana dan pak Tanuwijaya juga tidak pernah memberitahuku. Atau mungkin aku yang tidak pernah mencari tahu. Ah sudahlah, lain kali saja kucari tahu. Pesan masuk dari Emma barusan lebih menarik untuk aku balas.

***

Aku selalu membenci hari Senin, kecuali jika itu libur. Hari Senin selalu menjadi hari yang paling sibuk, hari yang paling macet di jalanan, dan juga hari yang selalu terasa sangat panjang. Weekend yang menyenangkan memang selalu membuat terlena sehingga kembali bekerja di hari Senin rasanya sangat berat. Hari ini aku baru saja menyelesaikan meeting yang terasa sangat panjang dan masih ada satu meeting lagi sore nanti. Badanku masih memberontak meminta untuk istirahat lebih panjang di kasur dan tentu saja tidak bisa aku kabulkan. Menempuh perjalanan ke Jakarta Selatan di jam-jam macet seperti ini tidak akan membantuku untuk bisa beristirahat dan malah akan menambah lelah. Perutku sudah keroncongan dan mungkin lebih baik aku mencari makan siang saja di sekitar sini saja.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang