Emma- First Meeting with His Mom

2.7K 284 0
                                    

Aku adalah tipe orang yang tidak mau mengangkat telepon dari nomor asing. Aku selalu berprinsip bahwa jika itu penting maka si penelepon akan segera mengirimkan pesan apabila tidak kuangkat. Tidak tahu prinsipku ini benar atau salah, tetapi berulang kali nomorku jadi sasaran orang-orang yang usil ingin menipu membuatku mengambil keputusan tidak akan mengangkat telepon dari nomor asing. Namun, telepon dari nomor baru yang ternyata dari mama Elnathan menjadi pengecualian. Beliau memang tidak mengirimkan pesan tetapi terus menelepon hingga akhirnya kuangkat di panggilan ketiga kali. Suatu hal yang mengejutkan karena beliau meneleponku di saat kami belum pernah bertemu sama sekali.

'Emma, tante minta tolong kamu buat cek Elnathan ke apartemennya ya. Tolong pastiin dia udah benar-benar sembuh. Harusnya sih sudah, karena tadi dia udah bisa marah-marah sama tante'.

Aku tidak tahu harus tertawa atau bagaiman merespon ucapan mama Elnathan. Tetapi ternyata setelah aku temui dia belum sembuh betul tetapi seperti yang mamanya katakan, dia sudah bisa marah-marah dan ngambek. Elnathan yang manja ketika sakit itu benar-benar tidak mengijinkanku pulang dengan alasan dia masih sakit dan perlu bantuan orang lain.

"El...aku harus pulang, oke? Aku besok harus ngantor" kataku untuk kesekian kalinya.

'"Dari sini aja, kan kantor lebih deket kalau berangkat dari sini dibanding dari kos kamu."

"Aku gak bisa..aku balik aja ya" kataku sambil benar-benar beranjak dari sofa tempat kami duduk. Elnathan dengan keras kepalanya menarik tanganku hingga terduduk kembali. Rasanya hanya dia orang sakit yang memiliki tenaga sekuat ini.

"Disini aja" ucapnya sambil menyandarkan kepala di bahuku dan mulai memejamkan matanya.

"Aku gak bisa, El. Gak baik kalau aku nginap di tempat kamu."

"Gak bakal ada yang peduli, Em. Di apartemen ini semua orang sibuk sama hidupnya masing-masing" katanya keras kepala.

Aku menggeleng kuat. Ini adalah masalah prinsipku. Katakan aku kolot atau terlalu konservatif. Tetapi menginap di rumah orang yang bukan pasanganku bukanlah sesuatu yang ingin aku lakukan. Bukan aku mencurigai Elnathan akan bertindak macam-macam, tetapi aku merasa menginap itu bukan hal yang baik untuk dilakukan dan melanggar nilai moral yang sedari dulu ditanamkan orangtuaku.

Akhirnya dengan susah payah menjelaskan pada Elnathan dan beragam janji dari menemaninya makan siang dan segera datang menemuinya setelah jam kantor, dia mau melepaskan aku pulang.

***

Baru lewat lima belas menit dari jam pulang kantorku yang normal, Elnathan sudah meneleponku menanyakan aku sudah dimana. Dia tadi lagi-lagi ngambek karena aku tidak datang sewaktu makan siang. Ada janji temu dengan penulis yang tidak bisa kuundur karena penulisku yang satu ini sangat sibuk.

Aku memasuki lift menuju lantai apartemen Elnathan dan kemudian melihat bahwa lampu nomor lantai apartemen Elnathan sudah menyala. Aku tersenyum sopan kepada satu-satunya pengisi lift yang adalah seorang ibu-ibu modis yang sepertinya di pertengahan lima puluh. Hening menyelimuti lift karena aku adalah orang yang selalu kesulitan berbasa-basi jika tidak diajak mengobrol duluan. Ketika kami bersama-sama keluar dari lift jantungku mulai berdebar lebih cepat dan pikiranku mulai berprasangka lain. Si ibu sudah berjalan di depanku dan kulihat dia melangkah melambat ketika sudah di dekat unit Elnathan. Aku berada di jarak yang cukup dekat dengannya dan akan aneh bila aku berbalik mundur.

"Mama.." suara terkejut Elnathan seolah menghentikan jantungku untuk sejenak. Aku tadi memang mengabari Elnathan ketika sedang lift. Mendengar nada terkejutnya kemungkinan dia tidak menduga bahwa bukan aku yang menekan bel barusan.

"Emma.." panggilnya ketika dia juga melihatku berdiri tidak jauh dari pintu unitnya. Aku hanya bisa tersenyum canggung karena si ibu yang ternyata adalah ibu Elnathan juga melihat ke arahku.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang