Awalnya aku tidak berniat untuk masuk ke kafe itu. Nongkrong di kafe bukan sesuatu yang aku sukai. Selain tidak ramah di kantong, pada dasarnya rasanya makanan di seluruh kafe yang pernah aku datangi menurutku cenderung mirip satu sama lain. Aku lebih senang berada di tempatku sendiri dan mencoba bereksperimen dengan masakanku. Lumayan untuk meningkatkan kemampuan memasakku yang masih sangat minimal dan juga tidak ada keramaian yang menggangguku. Bukan, bukan berarti aku seorang introvert. Aku bisa dengan mudah beradaptasi dengan keramaian, tetapi tetap saja rasanya lebih nyaman duduk sendiri dan memikirkan banyak hal tanpa diusik.
Tetapi hari ini, keadaan memaksaku untuk berdiam di sana. Pekerjaanku sebagai editor di sebuah perusahaan penerbitan membuatku tidak harus selalu bekerja di kantor dan penulis yang karyanya sedang aku tangani mengajakku bertemu di sana. 15 menit setelah aku menunggu di sana, tiba-tiba penulisku meminta untuk reschedule jadwal karena dia ada kepentingan lain. Aku yang sudah terlanjur memesan minuman mau tidak mau duduk di sana. Lagipula di luar mendung sekali dan mulai turun gerimis. Syukurlah aku masih berhasil menemukan meja kosong di sudut kafe.
Keputusanku untuk berdiam di kafe mungkin menjadi keputusan yang tidak pernah aku sesali. Jika aku segera pergi setelah pertemuanku dibatalkan, aku pasti tidak bisa bertemu dengan dia. A friendly man. Aku bukan perempuan yang menarik dan gampang di-notice oleh orang lain. Aku hanya perempuan yang sangat biasa dengan penampilan yang biasa pula. Aku menyukai make-up tetapi tidak bisa mengaplikasikannya sebaik orang lain, jadi untuk sehari-hari aku hanya menggunakan lipstick, bedak, dan juga sedikit blush on agar tidak terlalu pucat. Jenis sepatu yang selalu aku gunakan juga flat shoes dengan warna-warna sederhana seperti hitam atau krem. Tidak ribet dan cukup sopan apabila digunakan dalam beberapa jenis pertemuan. Jarang sekali ada orang yang menyapaku terlebih dahulu dan aku juga jarang mau menyapa orang lain terlebih dahulu karena takut sapaanku malah akan menimbulkan ketidaknyamanan. Tetapi kemudian, laki-laki itu menyapaku. "Hai" katanya. Dan aku hanya bisa terkejut.
Jujur, kesan pertama yang muncul ketika melihat dia adalah tampan. Dia tampak seperti Chicco Jerikho ketika tidak gondrong dan lengkap dengan lesung pipi di kedua pipinya. Selama lima menit duduk bersama, aku terus diam dan menyibukkan diri dengan menulis di note ku. Aku grogi. Laki-laki itu kemudian mulai mengajakku mengobrol dan suasana semakin nyaman di meja kami.
"Kamu kerja di mana?" tanyanya.
"Oh aku kerja di Words publisher, jadi editor," aku menjawab sambil meminum lemon tea ku yang tinggal seperempat setidaknya dengan melakukan hal lain, sikap kikukku tidak terlalu terlihat.
"Itu yang kantornya di Januardi tower kan ya? Berarti kita bekerja di gedung yang sama. Tetapi kok kita gak pernah ketemu ya, atau minimal berpapasan?"
"Oh ya? Emang kamu kerja di mana?"
"Aku kerja di Januardi grup."
Aku mengangguk paham. "Dulu temanku ada yang kerja di sana. Di bagian marketing sih dan baru resign dua bulan lalu," ucapku.
"Namanya siapa? Mungkin aku tau," jawabnya dengan ekspresi penasaran.
"Adyatama? Adyatama Caraka nama lengkapanya kalau aku enggak salah ingat," ujarku melihat ekspresi kebingungannya.
Pda akhirnya laki-laki di hadapanku ini menggeleng.
"Sorry, aku kurang kenal."
Aku tertawa. "Ngapain sorry sih? Aku juga gak hapal nama semua orang di kantorku. Kamu emang di bagian apa? Siapa tahu temenku malah yang kenal kamu."
Dia berdehem dan menggaruk tengkuknya.
"Bantuin papa buat ngurus perusahaannya," jawabnya sambil tertawa kecil. Tidak ada nada sombong di sana bahkan ekspresinya juga tidak menyiratkan sikap bangga terhadap pekerjaan yang hampir membuat jantungku lepas dari rongganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~