Elnathan- She Is More than A Friend

4K 409 1
                                    

Emma tidak memberi kabar dari tadi siang. Aku sudah berusaha mengirimkan pesan beruntun dan tak kunjung ada balasan. Aku juga sudah beberapa menelepon dan tak juga diangkat. Tidak ada kabar dari Emma membuatku uring-uringan dan akhirnya memutuskan pulang kantor lebih cepat. Aku khawatir ini terjadi karena Emma marah dan tersinggung akibat omonganku tadi sewaktu makan siang. Aku ingin menemuinya ke ruangannya tetapi aku takut dia semakin jengkel padaku, mengingat tadi siang dia benar-benar tidak mengijinkanku menemuinya. Aku juga tidak tahu dimana tempat tinggal Emma. Emma selalu menolak dengan keras kalau menawarkan mengantar atau menjemputnya. Aku hanya tahu kalau Emma kos di daerah Jakarta Barat dan informasi itu tidak membantu sama sekali. Rasanya aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi Emma.

Aku sungguh menyesali ucapanku tadi siang. Tetapi kan, Emma tidak menunjukkan tanda-tanda marah kepadaku hingga tadi kami kembali ke kantor. Apa Emma sebenarnya marah karena aku memaksanya makan siang bersama? Emma tidak pernah marah seperti ini. Dia tidak pernah sampai mengabaikanku seperti ini. Kepalaku berdenyut-denyut, aku khawatir pada Emma.

Tadi siang aku mencoba memberanikan diri untuk bilang aku suka pada Emma. Sejujurnya, aku hanya berniat menyatakan saja. Apabila Emma membalas perasaanku, berarti ini hari keberuntunganku, tetapi apabila Emma menolak, tidak masalah. Aku sudah sangat nyaman berada di samping Emma dan tidak masalah bagiku bila menunggu lebih lama. I got nothing to lose. Yang perlu aku lakukan adalah tetap di sampingnya hingga Emma akan melihat kesungguhanku dan menerimaku.

Aku tidak tahu mengapa Emma bisa membuatku seperti ini. Aku pernah jatuh cinta tentu saja. Aku pernah pacaran satu dua kali sewaktu kuliah. Tetapi kemudian hubungan itu kandas begitu saja. Aku banyak tertarik pada perempuan tetapi aku tidak ada yang bisa membuatku merasa mereka yang tepat. Aku sangat dekat dengan mama, sehingga secara tidak langsung aku menetapkan kriteria perempuan yang aku mau seperti mama atau minimal mirip mama. Mama yang sederhana, mama yang rendah hati, dan terutama mama yang selalu mendukung setiap usaha papa. Emma tidak sama dengan mama, tetapi aku melihat kesederhanaan mama ada pada Emma.
Emma memiliki sifat-sifat lain yang malah seperti magnet yang membuatku selalu ingin di dekatnya. Emma yang lemah lembut, Emma yang pintar, Emma yang pintar menyembunyikan perasaanya dan Emma yang lainnya. Daya tarik yang sepertinya Emma sendiri tidak sadar. Kalau Emma sadar pasti dia pasti tidak sering merasa minder seperti sekarang. Aku tahu Emma minder karena dia sering menunjukkannya tanpa sadar. Ketika kami jalan bersama dan ada orang yang melihat kami, Emma akan sedikit menjauh. Emma juga selalu memilih tempat duduk untuk kami di tempat yang tidak dilalui banyak orang. Berkali-kali juga Emma menanyakan kenapa aku sering mengobrol kepadanya, padahal menurut dia aku pasti punya banyak teman yang lebih baik untuk diajak mengobrol dibandingkan dia.

Ketika aku menyampaikan perasaanku kepada Emma, Emma langsung tersedak minumannya sendiri. Tadi dia juga sudah tersedak karena makan terlalu cepat. Aku tertawa miris melihat respon Emma. Emma hanya menatapku ngeri dan seolah tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Aku yang sepertinya sudah tahu jawaban apa yang akan kuterima dari Emma setelah melihat responnya, langsung berusaha menetralkan keadaan. Aku tertawa terbahak-bahak palsu seolah-olah yang aku bilang tadi bercanda.

Semakin memikirkan itu aku makin pusing dan menyesal. Kabar dari Emma masih belum ada. Aku benci sekali situasi seperti ini. Kalau Emma memang marah padaku seharusnya dia langsung memberitahku sehingga aku bisa meminta maaf dan memperbaikinya.

Di tengah kekalutanku, nama Emma muncul di layar ponselku. Emma meneleponku dan tentu saja segera kuangkat. Emma menangis dan marah-marah padaku karena tadi siang aku memaksanya makan siang bersama. Aku terdiam dan menjadi semakin kebingungan.

"Emma, kamu tenang dulu ya, kamu dimana sekarang? Aku kesana sekarang ya," aku berusaha menenangkan Emma. Dari perkataan Emma, aku tahu bahwa penyebab dia menangis dan apapun yang sedang dia alami sekarang adalah aku. Emma masih menangis dan tidak menjawab pertanyaanku.

"Em, aku temuin kamu ya? Kamu bisa kasih tahu aku kamu dimana sekarang? Aku harus lihat kamu dan minta maaf langsung sama kamu,"ucapku nyaris putus asa.

" Enggak usah, kamu gak usah datang kesini. Kamu hanya perlu janji kalau kamu gak bakal ajak aku ketemu selama itu masih di kantor," jawabnya pelan.

"Emma, pleaseee.. Aku perlu ketemu kamu. Kamu nangis dan marah-marah gini bikin aku gak tenang," kataku sambil menarik-narik rambutku frustasi.

"Em.. Emma kamu masih disana kan?" tanyaku lagi karena selama satu menit Emma tidak menjawab.

"Nanti aku kirimin kamu alamat aku"

Aku menghembuskan napas lega. Begitu pesan dari Emma masuk, aku langsung bergegas tanpa mengganti baju. Aku sudah sampai di apartemenku hampir sejam yang lalu dan langsung sibuk menghubungi Emma. Tidak ada waktu lagi bila harus mandi dan ganti baju. Dari tempatku ke tempat Emma akan memakan waktu sekitar satu jam. Aku tidak ingin membuat Emma menunggu terlalu lama, tidak di saat seperti ini.

Emma menyambutku dengan mata sembab di depan pintu kamar kosnya. Aku tidak tahu dia sudah menangis berapa lama. Dia mengajakku masuk ke kamar kos nya dan tetap membiarkan pintu terbuka sedikit. Mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan pada penghuni kos lain karena ada laki-laki masuk ke kamarnya.

"El maaf, aku gak maksud marah-marah gitu ke kamu. Aku emang kesel tadi kamu maksa aku makan siang, tapi aku nangis bukan gara-gara itu kok. Kamu harusnya gak usah repot-repot kesini," katanya dengan napas tersengal-sengal.

Aku hanya menatapnya dan menunggunya bercerita. Emma sangat jarang menunjukkan emosinya seperti ini dan ini pertama kalinya aku melihat dia menangis. Mungkin memang apa yang terjadi hari ini memang sudah sangat berat.

"Aku udah bilang kan El aku gabisa makan siang sama kamu karena takut digosipin, dan yang aku takutin emang beneran terjadi. Aku gak pernah ngerasa setersinggung ini." Dan cerita Emma menceritakan apa yang terjadi hingga dia tidak membalas pesanku dan marah-marah seperti tadi.

Aku hanya bisa menghela napas selesai mendengarkan cerita Emma. Terkadang perempuan memang bisa sangat mengerikan. Berhasil membuat sesama perempuan yang bahkan temannya sendiri terlihat buruk mungkin memang membuat mereka merasa di atas angin. Dikatai anti sosial saja sudah cukup buruk, dan sekarang dikatai gold digger. Demi Tuhan, aku tidak pernah merasa Emma memanfaatkanku secara materi. Dia bahkan selalu berhasil memaksaku bergantian membayar makanan atau membayar makanan sendiri-sendiri. Bahkan, terkadang perlakuan Emma seperti itu melukai harga diriku. Aku yang mengajaknya makan sudah seharusnya aku yang membayar. Selama ini, Emma tidak pernah merepotkanku. Aku yang selalu merepotkannya dengan selalu menumpahkan kekesalanku pada pekerjaan kepadanya, memaksanya menemaniku mencari kado untuk mama, dan hal-hal lainnya. Emma bukan seorang gold digger dan aku sangat meyakini itu.

Aku menatap Emma. Air matanya masih mengalir meskipun dia tidak terisak lagi. Dia sangat sedih dan aku tidak bisa berbuat banyak. Mungkin aku akan memenuhi permintaannya untuk tidak bertemu di wilayah kantor. Melihat Emma sedih seperti ini membuatku tidak tahan untuk tidak ikut sedih. Aku memberanikan diri untuk memeluknya. Mungkin menurut Emma ini adalah pelukan dari seorang teman, tetapi pelukan ini adalah pelukan yang kuberikan karena aku menyayanginya. Bukan sebagai teman, karena bagiku Emma lebih dari seorang teman biasa.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang