Setelah membujuk dan menyakinkan Alina dengan susah payah, dia akhirnya setuju untuk kembali ke apartemennya pagi ini. Bukannya aku tidak tahu terimakasih, tetapi rasanya aku sedikit canggung melihat dia lalu-lalang di apartemenku. Lagipula aku perlu menghubungi mama untuk meminta penjelasan kenapa Alina bisa muncul di tempatku tadi malam. Aku juga perlu menghubungi Emma yang tidak ada kabarnya sejak kemarin sore dan itu tidak bisa kulakukan apabila Alina masih di sini.
"Ma, kenapa Alina mama suruh datang ke tempat aku?" tanyaku langsung begitu mama menjawab teleponku.
"Sakit bikin kamu jadi gak sopan gini ya, El? Bukannya nyapa dulu malah marah-marah"
"Sorry, ma" kataku pelan. Jujur saja walaupun aku segan dengan papa tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan rasa seganku pada mama. Aku sangat menyayangi dan menakuti mereka di saat yang sama.
"Kamu kan tau mama lagi nemenin papa medical check-up ke Singapura dan tiba-tiba kamu sakit. Kamu kan kalau sakit banyak banget permintaannya, makanya mama suruh Alina bantuin kamu ke sana"
"Tapi kan gak harus Alina, Ma" jawabku kesal.
"Mama kan gak tau, El harus nyuruh siapa lagi. Lagian bukannya kamu lagi deket sama Alina ya? Yaaa..mama kira kan kamu bakalan senang kalau ada dia di sana"
"Noo...aku cuma temen sama dia, Ma. Lain kali jangan inisiatif banget nyuruh dia. Kalau dia nganggapnya beda kan bisa repot urusannya." Mendengar jawabanku mama tertawa kecil.
"Jadi Mama harus nyuruh siapa? Mama masih lama disini, El. Mau sekalian liburan dululah. Sumpek di Jakarta" katanya.
Mendengar pertanyaan mama aku tiba-tiba mendapat ide cemerlang. Mungkin ini salah satu cara yang bisa aku lakukan untuk menyakinkan Emma. Memperkenalkan Emma dengan mama dan membiarkan mereka berinteraksi mungkin akan membuat Emma sadar bahwa aku dan keluargaku bukan pemandang status ekonomi seseorang.
"Nanti aku kirim nomornya ke Mama"
"Pacar kamu?"
"Bukan..tapi calon menantu Mama," kataku.
Senyum tidak bisa kusembunyikan dari wajahku. Calon menantu entah kenapa terasa tepat disematkan untuk Emma.
"Kok kamu gak pernah ngenalin Mama?" mama mendengus di sebelah sana.
"Ini mau dikenalkan Mamaaa," jawabku sambil tertawa.
Mama hanya mengiyakan dan tidak sempat bertanya lebih banyak karena dipanggil papa. Papa sama manjanya dengan aku, itu Mama yang bilang. Tidak bisa ditinggal ketika sakit dan permintaannya harus dituruti. Aku tidak pernah menyutujui ucapan mama. Papa jauh lebih manja daripada aku apabila di hadapan mama. Papa boleh saja terlihat sangar di kantor dan di hadapan orang lain tetapi bila di depan mama, Papa terlihat seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orangtua. Aku sering mencibir mereka tetapi di dalam hati aku juga diam-diam mengharapkan bisa memiliki kehidupan rumah tangga seperti mereka. Pasangan yang mendukung, memanjakan dan mencintai dengan porsi yang tepat.
Setelah mengirimkan nomor Emma kepada mama, aku berusaha menghubungi Emma dan tidak mendapat respon. Aku berusaha memaklumi karena ini hari Senin, hari paling hectic di kantor manapun. Akhirnya aku mengirimkan sebuah pesan.
'Emma kamu dimana?'
Dan pesan singkat itu tidak kunjung dibalas hingga sore hari.
***
Karena tidak sabar dengan Emma yang tidak ada kabar dan kondisiku yang belum memungkinkan untuk mengendarai mobil, akhirnya aku meminta bantuan mama untuk menghubungi Emma. Ini sedikit memalukan memang karena laki-laki seusiaku tidak seharusnya meminta bantuan ibunya untuk menghubungi gebetannya yang menghilang. Dan benar saja, mama dan papa kompak menertawakanku walaupun akhirnya mama mau membantuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~