Setelah berpisah tadi sore karena El akan berangkat meeting, hingga saat ini tak kunjung ada kabar darinya. Elnathan tidak biasanya seperti ini. El selalu rutin mengirimkan kabar untukku dia sedang apa dan sedang dimana. Walaupun tidak bisa aku balas secepat El membalas pesanku, tetapi menerima pesan dari El sudah menjadi sesuatu yang menjadi kebiasaan rutinku. Dan malam ini ketika El tidak muncul, jujur saja itu membuatku merasa ada yang kurang. Lebih tepatnya aku khawatir dengan Elnathan.
Aku terlalu canggung untuk mengirimkan pesan terlebih dahulu. Aku tidak mau menimbulkan kesan negatif seolah-olah El wajib harus memberitahu kondisinya setiap saat. Aku bukan siapa-siapa dan tentu saja tidak memiliki hak untuk itu.
Aku mengambil notebook ku yang ada di rak buku. Hari ini, entah kenapa pikiranku terasa sangat penuh dan aku perlu menuliskannya. Perpaduan antara khawatir karena El yang tidak ada kabar dan juga rasa sukaku yang semakin nyata pada El disertai minder membuatku merasa sedikit tertekan. Terkadang, ingin sekali rasanya aku mengutarakan perasaanku pada El. Perlakuan manisnya kepadaku seringkali membuatku terlena dan merasa besar kepala. Tetapi, keinginanku itu juga seringkali juga aku tepis. Bagaimanapun, aku tidak tahu perasaan El dengan pasti dan sebenarnya tidak siap dengan jawaban apapun yang akan aku dengar darinya, baik itu jawaban ya atau tidak. Jika El menjawab tidak, aku tidak siap akan kehilangan dia sebagai teman baikku. Dan jika El menjawab ya, aku juga belum siap untuk mendampinginya di saat perasaan belum layak masih hinggap di dalam diriku. Aku juga tidak sanggup membayangkan gosip apalagi yang akan muncul ketika hubungan kami terpublikasi. Lagipula, entah kenapa setelah pertemuan kami hari ini aku mulai merasakan keraguan yang baru mengenai posisiku di hadapan El.
Ingatanku melayang ke kejadian makan siang tadi. Suatu hal yang sangat tidak terduga, ternyata El dan Alin adalah teman masa kecil. Ingin sekali aku menertawakan El mengingat dia sendiri sudah mencap buruk teman masa kecilnya. Melihat mereka aku menyadari satu hal, bahwa seberapa lama pun kita jauh dari orang lain, tetapi ikatan batin yang sudah terbentuk di masa lalu tidak akan mudah terlupakan begitu saja. Alin dan El dengan cepatnya berubah dari orang yang awalnya saling lupa menjadi sangat akrab. Mereka dengan semangat menceritakan masa kecil mereka, terutama Alin. Aku senang melihat mereka karena aku sendiri tidak memiliki cerita berteman akrab dengan anak laki-laki di masa kecil. Namun, harus kuakui juga bahwa di dalam hatiku ada perasaan asing yang muncul. Alih-alih merasa Alin adalah pendatang baru di antara hubunganku dan El, aku justru merasa bahwa aku adalah orang ketika di antara mereka. Dan hingga aku tertidur, El belum mengirimkanku pesan.
***
Aku berangkat ke kantor dengan wajah lesu. Bangun pagi tadi, aku langsung memeriksa ponselku melihat apakah ada kabar dari El. Ternyata tidak ada. Aku kecewa tentu saja. Jika sampai siang nanti dia tidak kunjung mengabariku, aku sudah berjanji untuk menghubunginya dan mengabaikan perasaan malu di hatiku
Kantor masih sepi ketika aku tiba. Salah satu kebiasaanku sejak awal bekerja adalah sampai setengah jam sebelum jam kantor dimulai. Kebiasaan yang aneh menurut orang-orang. Tetapi, menurutku tiba lebih awal membantuku untuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Aku bisa merapikan penampilan yang berantakan, aku bisa minum teh twinnings kesukaanku, atau terkadang aku bisa mulai mencicil pekerjaanku sehingga tidak perlu lembur. Intinya datang pagi ke kantor itu memberikan banyak dampak positif untukku.
Ketika sampai di mejaku, aku terkejut melihat buket bunga campuran daisy dan bunga matahari yang ada di mejaku. Tidak hanya itu, ada sekotak brownies dari toko kue kesukaanku. Aku meraih buket itu dan mencari siapa tahu ada kartu dari pengirimnya. Sebenarnya aku sudah punya dugaan tersendiri siapa pengirimnya. Hanya beberapa orang saja yang tahu aku suka daisy dan juga brownies. Benar saja, aku menemukan kartu ucapan dari sang pengirim, Elnathan.
'Love is the flower, you' ve got to let grow'
Jantungku berdetak lebih cepat membaca isi kartu yang merupakan kutipan dari John Lennon. Ada rasa antusias yang bergejolak. Bisakah aku mengartikan bahwa El sedang berusaha memberitahuku tentang perasaannya? Atau apakah El sudah menyadari perasaanku padanya dan menyuruhku untuk membiarkan cinta di hatiku terus bertumbuh? Aku tidak tahu pasti mana yang benar. Tetapi untuk pertama kalinya El mengirimiku bunga dan efeknya sudah seperti ini. Perasaan senang, berbunga-bunga dan juga perasaan minder yang mulai saling bersaing menguasai hatiku.
Belum sempat aku mengirimkan ucapan terimakasih pada El, panggilan masuk darinya muncul di ponselku. Aku berdehem singkat, berusaha menetralkan perasaanku sebelum menerima teleponnya.
"Ya, El?"
"Eh Em.. Hm.. Kamu eh.. Kamu udah nerima kiriman dari aku?" jawabnya. Aku tersenyum mendengar suaranya. Setidaknya ternyata bukan cuma aku yang grogi.
"Udah, El. Terimakasih," kataku pelan.
"Kamu udah baca kartunya?"
"Eh..itu..hmm...udah El, terimakasih. Bunga, brownies, sama kartunya. Aku senang."
"Terus menurut kamu gimana?"
Aku mengerti maksud pertanyaan dari El. Tetapi, aku terlalu bingung untuk menjawab apa.
"Maksudnya?"
Aku mendengar deheman dari El dan suaranya menarik napas.
"Emma, isi kartu itu mungkin yang paling sesuai sama kondisi hati aku. Aku sekarang lagi membiarkan sesuatu tumbuh di hati aku untuk kamu. Aku harap kamu juga mau ngelakuin hal yang sama ke aku," El berbicara sangat cepat, tetapi aku bisa menangkap seluruh ucapannya. Aku terdiam. Entah kenapa hatiku terasa sesak oleh perasaan yang lagi-lagi tercampur aduk.
"Emma?" panggil El karena aku tak kunjung menjawabnya.
"Emma, aku tahu harusnya kita gak omongin hal ini dari telepon. Kalau kamu ada waktu, kamu mau kan ketemu aku buat ngomongin ini?"
Aku lagi-lagi hanya bisa terdiam.
"Emma, kamu marah?"
Hingga akhirnya El memutus panggilan karena akan berangkat ke kantor, aku masih terdiam memandangi ponsel yang ada di genggamanku. Aku tidak menduga bahwa aku akan mengetahui perasaan El secepat ini. Mendengar langsung dari El sangat berbeda rasanya dengan membaca kartu tadi. Kemana perasaan antusias yang bergejolak tadi? Kenapa sekarang rasa takut yang lebih besar? Bukankah harusnya aku senang bahwa perasaanku terbalas? Kepalaku terasa sangat penuh sekarang dan tanpa kusadari air mataku menetes.
Dear readers, thankyou for reading 😉
Don't hesitate to leave your comment yaa
Saran dan kejanggalan yang ada di cerita sangat boleh untuk dikomen. Sebagai penulis pemula komentar dan saran kalian akan sangat membantu 😊😊
Thankyou in advance
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~