Pagi ini berjalan cukup kacau. Karena terlalu lelah akibat photoshoot yang selesai lewat tengah malam, aku terlambat bangun. Aku buru-buru berangkat ke kantor dan mengirim pesan ke kafe di lantai bawah kantor untuk membuat kopi untukku. Dan kemudian aku mendapati bahwa kopi yang aku pesan belum dibuatkan.
Aku kesal setengah mati karena aku sangat membutuhkan kopi itu. Dan belum selesai sampai di situ, sekretaris papa menelponku agar nanti setelah papa selesai rapat aku menghadap ke ruangannya.
Aku menghela napas dan menghembuskannya keras-keras hingga beberapa rekan kerja melihatku heran. Aku tahu papa nanti akan memberikan nasihat panjang kali lebar dan hasilnya meluas kemana-mana itu. Aku yang selalu bolos pas jam kerja, aku yang datang terlambat, aku yang suka melimpahkan pekerjaanku kepada rekanku yang lain, dsb. Sudah aku bilang pada papa bahwa passion ku adalah modelling, tetapi papa selalu menganggap itu bukan pekerjaan.
Papa membutuhkanku sebagai penerus perusahaannya dan sudah seharusnya aku belajar dari sekarang. Pemaksaan papa membuatku memberontak. Datang terlambat dan bolos hanya sebagian kecil dari bentuk pemberontakanku. Lagipula pekerjaanku selalu beres karena ada rekan kerja baik hati yang mengerjakannya untukku. Tinggal kedipkan mata dengan manja, dan para laki-laki itu akan dengan senang hati mengerjakannya. Para HRD sepertinya benar-benar takut untuk menegurku karena aku tahu aku anak papa. Dan jadilah mereka memilih mengadu langsung ke papa.
Setelah menunggu hampir dua jam lamanya, akhirnya sekretaris papa menghubungiku dan mengatakan meeting papa telah selesai. Aku bergegas ke sana karena sedikit terlambat papa akan menambah ocehannya selama dua jam. Daripada aku mual muntah, jadi lebih baik datang tepat waktu. Aku membuka pintu ruangan papa dan terkejut teman meeting papa masih di sana. Di detik pertama aku melihat wajahnya, aku terpana. Dia tampan sekaligus terlihat familiar di saat bersamaan.
Aku menutupi wajah terpanaku dengan berdehem kecil. Aku ingin menyapa tetapi kuurungkan. Haram hukumnya gadis cantik sepertiku menyapa laki-laki terlebih dahulu. Aku hanya membuat senyum professional yang kata laki-laki tukang gombal bisa buat klepek-klepek. Tetapi dia hanya melihatku sekilas dan lebih sibuk melihat handphonenya. Aku menyipitkan mataku kesal. Dasar laki-laki sombong.
"Kamu udah disini Lin? Tumben gak mangkir dari panggilan papa." Aku hanya tertawa kecut mendengar sambutan papa.
"Aku tahu papa sebenarnya mau marahin aku, aku udah prepare kok Pa. Tapi sebelum papa mulai marah-marah dan buat aku jadi hilang ingatan, aku mau tanya dulu. Dia tadi siapa, Pa?"
"Siapa? Teman meeting papa tadi?" Aku mengangguk.
"Oh, dia anaknya om Bram yang punya Januardi grup. Masa kamu lupa sih, Lin? Kalian kan dulu paling akrab kalau ikut pertemuan papa sama papanya dia," jawab papa.
Aku mengernyitkan keningku berusaha mengingat dan hasilnya nihil.
"Aduh, Alin gak inget pa, otak Alin kan cetek, makanya gak cocok jadi penerus papa. Papa cari yang lain aja deh buat kerja di sini." Papa langsung menoyor kepalaku mendengar jawabanku yang melenceng dari topik yang kumulai tadi.
"Sembarangan kamu. Kamu itu anak papa satu-satunya. Kalau bukan kamu siapa lagi yang bisa papa harapkan....." Dan kemudian papa mengomel dan menasehatiku di saat bersamaan hingga jam makan siang selesai.
Setelah omelan yang sepertinya tidak berujung itu, aku keluar dengan wajah berseri hingga sekretaris papa menatapku heran. Walaupun harus dengar omelan papa, tetapi setidaknya papa masih mau berbaik hati memberikan informasi mengenai laki-laki tadi lengkap dengan nomor teleponnya. Elnathan Januardi.
Aku kesal karena tadi Elnathan dengan beraninya tidak membalas senyumku. Di saat laki-laki lain memohon agar aku berikan senyum tetapi dia malah mengabaikanku. Seorang Alina Tanuwijaya tidak boleh diabaikan. Baiklah Elnathan, kita lihat apakah kamu bisa mengabaikanku setelah ini. Aku tertawa sumringah membayangkan ide-ide yang berkeliaran di pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Lãng mạn~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~