Visa Inggrisku sudah harus diperpanjang karena beberapa bulan lagi aku harus berangkat ke Inggris untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya tidak harus sekarang, tetapi karena aku tahu kemungkinan besar baru akan selesai dalam waktu 12 minggu maka aku harus segera mengurusnya. Aku tidak mau nanti di saat mepet waktu keberangkatan visaku malah ditolak. Kalau lebih awal seperti ini, jikapun ditolak aku masih punya waktu untuk mengurusnya kembali.
Sepertinya, aku sampai terlalu siang karena aku mendapat nomor antrian 60. Mungkin karena sudah mendekati akhir tahun, semua orang sibuk mengurus visa untuk liburan. Aku mencari kursi kosong untuk duduk dan sialnya kursi yang tersisa hanyalah di samping pasangan yang sedang sibuk membicarakan rencana liburan. Dulu, ketika aku masih baik-baik saja dengan Emma, aku sudah berencana ingin mengajaknya liburan bersama di akhir tahun, ke UK.
Aku tidak suka karena dia begitu memuja Revan yang berkuliah di sana dan membuat mereka memiliki celah komunikasi meskipun tentang beasiswa. Aku tidak ingin kalah dari Revan, yang seolah-olah paling tahu tentang negara itu. Membawa Emma langsung ke sana untuk mencari informasi adalah rencanaku dan aku akan jauh beberapa langkah dan lebih hebat dari Revan. Tetapi, tentu saja itu hanya rencanaku yang tidak kesampaian. Bagaimana bisa kesampaian, bahkan jauh sebelum akhir tahun kami sudah berakhir.
Aku merindukannya. Rindu mengirimkannya pesan beruntun hanya untuk merecokinya saat bekerja dan menelponnya sebelum tidur. Menceritakan kegiatanku sepanjang hari dan meminta pendapatnya ketika aku sedang bingung. Tiga bulan ini Alina memang tidak pernah absen memberikan informasi tentang kabar maupun proses terapinya. Meskipun terkadang cuma sekali seminggu karena Emma tidak rutin bercerita kepadanya, tetapi itu lebih dari cukup. Setidaknya aku tahu dia semakin membaik. Harusnya dia sudah selesai terapi bulan ini. Tidak bisa membohongi perasaanku, aku menanti dalam hatiku kapan dia akan menghubungiku. Apakah setelah dia mendapat kepercayaan dirinya, maka dia akan semakin yakin untuk memilih tidak bersamaku?
Ketika sibuk melihat sekeliling karena sudah merasa bosan menunggu, mataku tertumbuk pada sudut meja pengambilan dokumen visa. Perempuan itu memang membelakangiku tetapi aku yakin itu Emma. Sedang apa dia di sini? Bukannya dia masih terapi? Mataku membulat memikirkan satu kemungkinan buruk. Dia tidak sedang melarikan diri ke luar negeri kan?
Emma sepertinya sudah menyelesaikan urusannya, karena dia sekarang sudah berbalik menuju keluar. Kuabaikan nomor antrianku yang tinggal sebentar lagi dan bergegas menyusul Emma. Dia tidak boleh pergi tanpa aku tahu dia kemana.
"Emma.." panggilku keras. Sepertinya terlalu keras karena sekarang bukan hanya dia yang menoleh melainkan beberapa orang yang berada di parkiran. Mengabaikan aku sekarang yang jadi pusat perhatian, aku berjalan cepat dan menarik tangannya ke arah mobilku.
Suasana di dalam mobil terasa tetap panas meskipun AC mobil menyala. Mungkin auraku terlalu negatif karena pikiranku sekarang sedang kalut.
"Kamu harus jelasin ke aku, Em," kataku setelah menenangkan emosiku yang melonjak tadi.
"Jelasin kemana kamu selama tiga bulan ini," tambahku lagi. Emma memberiku tatapan "kenapa aku harus cerita" yang terlihat sangat lucu di mataku. Kemarahan yang tadi muncul sekarang sudah benar-benar sirna.
"Kamu gak benar-benar pengen ngejauh dari aku kan?"
"Tapi kamu duluan yang berhenti hubungin aku. Kamu bilang kita masih berteman, tapi kamu juga ngilang gitu. Aku kira kamu udah benar-benar lupain aku."
Mendengar ucapan Emma, bibirku melengkung sempurna. Emma ternyata mencariku juga. Setidaknya, bukan hanya aku yang sibuk memikirkan dia. Aku berdehem untuk menetralkan suaraku agar tidak terdengar terlalu semangat.
"I give you time, Em. Aku tau kita sama-sama butuh waktu untuk memikirkan dan memperbaiki diri kita. Aku...," aku berdehem lagi, kali ini karena takut Emma akan marah. "Aku tau kamu.. Kamu ikut konseling itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~