Sebenarnya aku tidak merencanakan sama sekali akan melamar Emma di dinner yang aku persiapkan untuknya. Aku berencana akan melamarnya ketika nanti dia sudah menyelesaikan pendidikannya. Cincin itupun baru aku beli tadi ketika tidak sengaja lewat toko perhiasan ketika membeli kado untuk Emma.
Namun, secara impulsif aku mengatakannya tadi. Meminta kado untuk ulangtahunku adalah dia menjadi calon istriku. Selain karena aku mencintainya, aku juga ingin lebih mengikatnya lagi karena kami akan LDR. LDR itu memuakkan dan hanya membayangkannya saja aku sudah kesal. Emma berada di kota yang sama denganku saja, aku selalu takut akan ada yang mampu menarik perhatiannya lagi. Apalagi kalau berada di benua yang sama dengan zona waktu yang berbeda pula. Bahkan, seandainya Emma menerima lamaranku tadi, tidak menutup kemungkinan aku akan segera mengajaknya menikah sebelum kami berangkat ke sana.
Ya, aku akan ikut menemaninya ke sana. Aku tidak akan membiarkan Emma beradaptasi di sana hanya ditemani Revan. Syukurnya, aku masih bisa mengejar perpanjangan visa.
Mungkin orang akan melihat aku sebagai definisi nyata seorang budak cinta. Aku sangat mencintai Emma dan jika ditanya kenapa bisa, aku tidak akan bisa menjawabnya. Tidak ada alasan khusus kenapa orang bisa mencintai. Hanya terjadi begitu saja dan didukung oleh banyak faktor kemungkinan. Mungkin karena Emma membuatku nyaman, mungkin karena Emma terlihat butuh perlindungan dariku walaupun sebenarnya dia sangat mandiri, mungkin karena Emma dengan kesederhanaannya membuatku terpesona, mungkin karena sopan santunnya, mungkin karena dia selalu mendukungku dalam pekerjaanku, dan banyak lagi. Atau memang mungkin karena memang hatiku dari awal bertemu dengannya sudah merasa bahwa dia adalah "the one" yang ditujukan Tuhan untuk mendampingiku.
Aku tidak masalah jika harus menjadi budak cinta untuk Emma karena selama ini Emma tidak pernah menjadi terkesan menjadi memanfaatkanku. Dia tidak pernah marah-marah tanpa sebab kepadaku dan masih setia untuk memintaku split bill. Emma masih belum pernah memintaku membelikannya ini itu karena menurutnya dia masih punya penghasilan untuk itu. Jadi, ketika aku gatal sendiri ingin membelikannya sesuatu, maka lebih baik aku berikan sebagai hadiah. Emma tidak akan menolak karena dia selalu menghargai pemberian orang lain, tetapi kemudian dia akan memintaku berkali-kali untuk tidak mengulangnya lagi terutama ketika harga dari barang itu terlalu mahal. Mahal menurutnya tentu saja.
Mungkin masih banyak di luar sana yang seperti Emma, tetapi Emma dengan pembawaannya sendiri (bahkan dengan mindernya yang sempat membuatku frustasi itu) sudah membuatku terpikat dan aku tidak terpikir untuk yang lain lagi. Sekarang yang perlu aku lakukan adalah membuat Emma akan terus berada di sampingku.
***
Hari ini adalah keberangkatan Emma dan juga aku ke Edinburgh. Kami memilih penerbangan tengah malam sehingga sewaktu transit nanti di Dubai adalah pagi hari dan kami bisa berkeliling selama waktu transit yang memakan waktu hingga 6 jam. Aku ingat sekali bahkan ketika memilih tiket penerbangan ini aku berdebat dengan Emma. Apalagi kalau bukan karena jenis kelasnya. Aku yang terbiasa dengan layanan first class tentu merasa keberatan kalau terbang dengan kelas ekonomi. Dan Emma tentu saja sebaliknya. Karena tabungannya hanya cukup membayar tiket ekonomi, dia menolak dengan keras ideku. Dia bahkan menyuruhku untuk terbang sendiri saja apabila aku diam-diam meng upgrade tiketnya. Emma memang sekeras kepala dan seidealis itu apabila menyangkut dibayari orang lain.
Lagi-lagi keadaan membuatku harus kembali mengalah walaupun harus membayangkan kakiku akan tertekuk tidak nyaman selama belasan jam. Aku berjanji ketika Emma sudah menjadi istriku, aku akan mengajarkannya betapa nyamannya pesawat kelas bisnis sehingga dia sendiri yang akan menolak untuk naik ekonomi.
Jam sepuluh malam, aku sudah tiba di kos Emma untuk menjemputnya dan lengkap dengan kedua orangtuaku yang tiba-tiba ingin mengantarku. Sebenarnya, mama yang memaksa ikut dan papa seperti biasa selalu tunduk dengan mama. Emma belum kuberitahu dan memilih membiarkan dia terkejut karena aku sudah dikejutkan orangtuaku terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~