Elnathan- When We First Met

17.1K 704 5
                                    

Sial, double sial.
Kenapa sih hari ini harus hujan? Sekretarisku pake cuti segala lagi dan papa ikut-ikutan bikin repot dengan datang tiba-tiba ke kantor. Katanya sih mau ngelihat kantor yang sejak bulan lalu diserahterimakan tampuk kepemimpinannya padaku. Papa mau lihat ini perusahaan makin maju atau malah menuju bangkrut, katanya. Halah, aku tau itu hanya alasan bohong papa. Alasan sebenarnya adalah karena papa menyesal sudah pensiun dini dan sekarang kerjaannya hanya mendengarkan omelan mama di rumah.

Hujan sialan ini membuat aku ragu mau lanjut ke kafe sebelah kantor untuk membeli kopi. Sudah aku bilang kan, sekretarisku yang senang sekali cuti mendadak hari ini juga melancarkan aksinya. Jadi tidak ada yang bisa membelikanku kopi. Sebenarnya aku bisa saja meminta office boy di kantor, tapi akan lebih sulit dan lama menjelaskan syarat-syarat kopi yang baik menurut versiku. Lebih cepat beli sendiri daripada harus menjelaskan dulu. Tapi gimana mau kesana kalau hujan begini? Kepalaku sudah semakin berdenyut-denyut karena asupan kopi belum terpenuhi dan ditambah omelan papa tadi.

Aku akhirnya memutuskan untuk berlari kecil menuju kafe. Tidak apa-apa basah sedikit, pikirku. Nanti sambil duduk santai di kafe, baju pasti kembali kering. Yang penting ada kopi. Sesampainya di kafe, aku malah membuat kegaduhan tambahan. Saking terburu-burunya ingin masuk ke sana, aku menabrak tempat payung di dekat pintu dan menjatuhkan isinya. Dan semua mata tertuju padaku. Astaga, hilang sudah tampilan cool, tertata rapi, dan seriusku. Aku tahu beberapa orang yang sedang melihatku ini sudah ingin tertawa tetapi ditahan.

"Biar saya bantu beresin mas."

Seorang petugas kafe menghampiriku dan langsung membantu membereskan kekacauan yang aku buat. Aku juga ikut membereskannya.

"Terimakasih, " kataku kepadanya setelah semua kekacauan itu beres. Si petugas bernama Meta membalas senyumanku dengan sedikit terlalu lebar hingga membuatku mengernyit heran. Ah, ya sudahlah. Lebih baik aku segera membeli kopi sebelum aku membuat kekacauan lainnya.

Setelah mendapatkan kopi yang aku mau, aku menoleh ke sekeliling kafe dan mencari tempat duduk yang kosong dan kemudian muncul kesialan lainnya. Entah kenapa kafe yang biasanya sepi ini tiba-tiba penuh pengunjung. Ah, ada satu kursi kosong di sudut kafe. Bukan kosong sebenarnya, tetapi ada seorang perempuan berpenampilan sederhana yang duduk di salah satu sisi dan asyik memandangi luar kafe dari jendela. Entah dorongan darimana aku malah berjalan ke arah perempuan itu. Sungguh, ini seperti bukan aku. Seorang Elnathan tidak pernah tertarik menemui seorang perempuan yang tidak dikenal. Tapi di luar sedang hujan dan aku malas jika harus hujan-hujanan lagi. Lagipula, wajah damai perempuan itu seperti magnet yang menarikku dan aku merasa dia tidak seburuk itu untuk aku ajak kenalan nanti.

"Hai," kataku setelah sampai di mejanya. Dan perempuan itu menoleh dengan mata melebar. Mungkin dia terkejut kenapa ada laki-laki setampan aku menyapanya tiba-tiba. Aku tertawa di dalam hati menyadari bahwa sikap kepedeanku.

"Boleh saya ikut duduk di meja ini?"

Dan dia masih terus diam dan menatapku.

"Semua kursi di kafe ini terisi penuh, mungkin karena lagi hujan dan saya butuh tempat duduk. Boleh kan?" tanyaku lagi. Dia menoleh ke sekeliling. Akhirnya ada respon lain selain muka terkejutnya.

"Hmm...eh, iya silahkan," jawabnya.
Aku bersorak dalam hati. Aku tidak tahu ini karena aku terlalu senang mendapatkan tempat duduk atau karena dia memberikan respon seperti yang aku harapkan. Aku bergegas duduk sebelum dia berubah pikiran.

Setelah lima menit duduk bersama dia, tidak ada tanda-tanda dia akan mengajakku mengobrol terlebih dahulu. Aneh, pikirku. Pada umumnya semua orang terutama para perempuan akan dengan senang hati mengajakku mengobrol meskipun lebih sering tidak aku respon. Tetapi, perempuan di hadapanku ini hanya diam dan sibuk menulis sesuatu di note dan sesekali tersenyum canggung bila tidak sengaja menatapku. Senyuman yang cukup manis sebenarnya.

"Mbak udah lama di sini?" tanyaku akhirnya. Aku tidak tahan untuk terus diam sedangkan seseorang di hadapanku ini sibuk sendiri. Aku merasa diacuhkan.

"Sekitar setengah jam yang lalu kali ya mas, kenapa?"

Sejujurnya aku bingung dengan pertanyaan kenapa itu. Ya ampun, seharusnya aku tidak menanyakan itu tadi. Mending langsung tanya nama dia.

"Eh, gapapa mbak. Mbak kelihatannya lagi sibuk banget ya, saya jadi ngerasa seperti mengganggu mbak," jawabku setelah terdiam beberapa detik memikirkan jawaban.

"Eh.. Eh.. Gak ganggu kok mas, saya juga cuma lagi coret-coret aja," ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku tersenyum geli. Dia sungguh ekspresif. Tadi juga ketika mempersilakan aku duduk, dia menjawabku dengan menganggukkan kepala berkali-kali.

"Coret-coret apa mbak?" Aku memilih untuk terus bertanya meskipun mungkin terdengar lancang. Aku hanya tidak ingin percakapan kami berhenti begitu saja, sementara hujan di luar sana sepertinya akan menahanku lebih lama di sini.

"Eh, bukan apa-apa sih mas. Hanya coretan asal aja, apa yang ada di pikiran saya. Kadang saya suka sulit mengungkapkan apa yang saya mau dan sering jadi ribet sendiri di pikiran saya. Jadi ya, saya biasain tulis apa yang saya pikirkan sekarang. Sebelum makin banyak yang saya pikirkan dan malah saya lupa nanti mau ngapain."

Dia menjawab cukup panjang dan menyelipkan tawa kecil di akhir. Mungkin dia menertawai kebiasaannya itu tetapi tawa kecil itu sekali lagi berhasil menarik perhatianku dan juka boleh jujur membuatku terpana.

"Eh maaf, saya cerewet banget ya?" ucapnya lagi dan sekarang dia terlihat salah tingkah.

"Eh...enggak kok mbak. I just wondering berarti mbak sangat terorganisir ya? Apa-apa ditulis dulu."

"Enggak juga mas, saya malah cenderung ke berantakan orangnya. Impulsif gitu. Jadi biar saya gak terlalu ribet, kadang-kadang yang saya tulis bisa ngurangin keribetan sayalah" jawabnya.

Aku tertawa mendengar jawabannya. Aneh, pikirku. Aku baru tahu ada orang impulsif yang suka menuliskan isi pikirannya. Ah, sudahlah mungkin itu sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu.

"Mbak kenapa tadi gak mau ajak saya ngobrol?" tanyaku lagi.

"Eh, bukan mas, bukan saya gak mau ajak ngobrol!" serunya sambil mengeleng-gelengkan kepala yang membuatku kembali tersenyum geli.

"Saya cuma gak enak aja ajak ngobrol, nanti dikira sok akrab. Belum tentu juga mas nya mau saya ajak ngobrol kan. Jadi, untuk amannya saya nunggu aja sampai mas ngajak saya ngobrol duluan."

Jawabannya itu praktis membuatku menyemburkan tawa. Ternyata sikap impulsif yang dia sebutkan tadi tidak berlaku dalam mengajak orang asing mengobrol. Menarik, pikirku. Aku lebih sering bertemu dengan orang yang senang mengajakku basa-basi. Aku melihat dia yang sedang menatapku bingung.

"Jadi, sekarang karena saya udah ngajak ngobrol mbak duluan, gak apa-apa kan kalau mbak temani saya ngobrol di sini sampai hujan reda?"

Dia mengangguk sambil tersenyum dan otomatis membuatku tersenyum juga.

"Emang mas mau ngobrolin apa?" tanyanya kemudian.

"Apa aja, tapi pertama-tama saya boleh tahu nama mbak? Dan satu lagi, kayaknya umur kita gak beda jauh. Jadi, mungkin baiknya kita saling panggil nama saja satu sama lain?" Aku mengulurkan tanganku sebagai simbol perkenalan.

Dia kembali menatapku heran tetapi tetap mengulurkan tangannya untuk menjabatku.
"Saya Elnathan, kamu bisa panggil saya El atau Nathan, terserah kamu aja."

"Saya Emma, orang-orang biasa panggil saya dengan Em atau Emma, terserah kamu aja mau panggil saya apa," jawabnya.

Dan setelah perkenalan itu kami mengobrol satu sama lain hingga dua jam di sudut kafe dekat jendela. Sebenarnya hujan sudah berhenti sejak sejam yang lalu. Tetapi, tidak ada tanda-tanda salah satu dari kami untuk mengakhiri obrolan. Satu-satunya yang menghentikan obrolan kami adalah alarm pemberitahuan di ponselku untuk rapat dengan direksi. Dengan berat hati akhirnya aku menutup obrolan kami. Emma juga sepertinya sudah ingin pulang. Kami berjalan bersama hingga ke pintu keluar.

Dan ketika kami akan benar-benar berpisah aku memberanikan diri untuk meminta kontak Emma. Sambil tersenyum Emma menyebutkan nomornya dan kemudian pergi terlebih dahulu, meninggalkan aku dengan senyum yang awet di bibirku.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang