Elnathan benar-benar pemaaf. Aku tidak membayangkan bahwa prosesku meminta maaf akan semudah itu dan bahkan dia yang memanggilku terlebih dahulu. Dia juga selalu terlihat tulus ketika mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Mbak Rina benar, mungkin inilah saatnya aku harus mendobrak batasan yang aku bangun sendiri. Ternyata tidak sulit. Alih-alih merasa mempermalukan diriku sendiri ketika meminta Elnathan agar hubungan kami seperti dulu, aku malah merasa sangat lega.
"Kalau misalnya tadi kita gak ketemu, kamu bakalan nemuin aku duluan gak ya, Em? Atau kamu malah pergi ke Eropa dan biarin aku kayak orang bego di sini?" tanya Elnathan sembari menyetir dan mengantarku pulang. Tadi setelah makan siang, dia mengajakku lanjut menonton dan kembali makan malam bersama. Kata dia mencicil kencan yang bakalan sangat jarang terjadi setidaknya setahun ke depan.
"Gak juga. Aku udah niat buat nyari waktu untuk ketemu kamu, eh, malah kamu yang nemuin duluan."
"Dari dulu memang selalu aku yang nemuin kamu duluan kan? Bahkan awal ketemu aja aku yang nemuin ke meja kamu."
Aku sampai detik ini masih mengingat detail pertemuan kami. Tidak terduga bahwa akan berjalan hingga sejauh ini dan aku tidak menyesalinya sama sekali.
"Jadi, mulai besok resmi aku antar jemput kamu?" tanya Elnathan ketika kami sudah tiba di kosku.
"Yap..mulai besok kamu resmi jadi supir aku," kataku geli dan Elnathan ikut tertawa.
"Berarti kamu harus bayar gaji aku ya, Em."
"Ih, enak aja. Kan kamu yang nawarin diri. Aku gak minta tuh," jawabku sambil mengedikkan bahu. Dia malah cemberut lucu.
"Kamu gak seru, Em. Kamu harusnya nanya aku harus bayar berapa. Biar aku bisa jawab cukup kamu bayar pake cinta."
Jawabannya membuatku tertawa terbahak-bahak dan mengoloknya.
"El..malu sama umur deh. Kita udah gak pantes sama gombalan gitu," kataku di sela-sela tawaku.
Elnathan berdecak kesal dan memilih diam sampai aku menghentikan tawaku.
"Jangan ngambek dong, El. Emang serius tadi itu kamu omongan kamu geli banget." Aku mengelus pelan lengan kirinya.
"Aku masuk dulu, ya. Hati-hati nanti baliknya. Sampai ketemu besok supirku yang minta bayaran pake cinta," kataku sambil tidak dapat menahan tawaku. Elnathan malah menarik pipiku karena kesal aku olok-olok. Sungguh, aku sering melihat sifat kekanakannya tetapi tidak ada yang sekonyol ini.
Sebelum aku turun dari mobilnya, dia kembali menahan lenganku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Mulai hari ini kita pacaran kan, Em? Aku udah boleh ngakuin ke orang-orang kalau aku sekarang gak available lagi?"
Tatapan yang diberikan Elnathan terasa sangat dalam. Ini berarti dia sangat serius dan bukan waktu yang tepat untuk aku visa bercanda lagi.
"Di umur kita, bukannya biasanya pengakuan gini gak perlu ya?"
Elnathan menggeleng. "Buat orang lain yang seumuran kita, mungkin itu gak perlu, Em. Tapi buat aku ini perlu, aku perlu ngasih tanda kalau kamu punya aku dan berarti gak ada yang bisa deketin kamu lagi."
Mendengar jawabannya aku tidak bisa menahan senyumanku dan wajahku mulai terasa memanas karena salah tingkah.
"Oke kalau gitu," kataku singkat.
"Oke apa, Em?"
"Oke untuk yang kamu bilang tadi," jawabku kesal karena aku yakin dia sedang mengerjaiku. Mengucapkan kata pacar masih terasa menggelikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Lãng mạn~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~