Aku membaca pesan yang dikirimkan El sejam yang lalu. Lebih tepatnya 20 pesan yang dikirimkan El secara beruntun. El kesal karena aku tidak membangunkannya. Ya ampun, aku lupa. Tadi pagi aku juga bangun terlambat sehingga harus buru-buru untuk bersiap-siap ke kantor. Jadi wajar kan aku lupa membangunkan dia?
Pesan beruntun dan banyaknya stiker kesal hingga ngambek yang El gunakan sudah cukup menjelaskan kalau dia marah karena terlambat bangun pagi. Aku buru-buru membalas pesannya dan meminta maaf. Setelah pesan pertama aku kirimkan, tidak ada balasan hingga sepuluh menit kemudian. Aku panik karena sejujurnya mengetahui ada orang yang kesal padaku, rasanya sangat mengganggu. Aku mengirim pesan lainnya dan menawarkan untuk mengirim makan siang ke ruangannya sebagai bentuk permintaan maaf. El beberapa kali pernah melakukan itu padaku yang pada kenyataannya sering menimbulkan pertanyaan di antara rekan kerjaku. Aku mengirimkan pesan lainnya karena El tidak kunjung membalas pesan keduaku. Dan kemudian balasan itu datang 30 menit kemudian.
'Aku gak mau dikirimin makan siang, aku mau kamu nemenin aku makan siang. Setelah itu aku pertimbangkan buat maafin kamu.'
Mataku melebar membaca pesan balasan El. Dia tahu aku paling tidak mau diajak makan siang bersama. Aku takut rekan kerjaku melihat dan akan menimbulkan gosip-gosip miring. Aku sudah sering dibicarakan di belakang dan aku malas menambah bahan gosip untuk mereka.
'Aku gak bisa, El. Aku pesan aja ya makan siangnya dan nanti diantar ke ruangan kamu,' begitu balasanku.
'Kenapa gak bisa?'
Astaga, El. Haruskah aku menjelaskan aku malu dan minder bila berjalan di sampingnya? Apalagi ini kawasan kantor. Akan banyak orang yang melihat kami, baik itu temanku atau bahkan rekan bisnis El. Aku memang terkadang bertemu dengannya di luar kantor, tetapi aku selalu pastikan bahwa tempat yang kami kunjungi bukan tempat yang sering dikunjungi oleh teman-teman kantorku. Tapi sepertinya aku memang harus memberitahu El karena dia pasti ngotot mengajakku makan siang berdua.
'El ini di kantor. Ada banyak teman kerjaku dan juga rekan bisnis kamu. Orang-orang pasti melihat dan bakalan jadi bahan gosip baru. Kamu gak sadar ya kamu itu idola di gedung ini?'
'Kamu berarti malu jalan sama aku yang kata kamu idola di gedung kantor?'
Ya ampun, El. Iya, aku malu jalan sama aku karena aku buluk banget dan selalu kalah mentereng sama penampilan kamu itu. Bagaimana caraku menjelaskan yang satu ini pada El.
'El pokoknya aku gabisa. Kapan-kapan aja kita makan siang bareng ya. Kamu ajak teman kamu yang lain aja,' balasku akhirnya.
Balasan El datang tidak sampai semenit kemudian.
'Aku gak punya teman selain kamu dan aku cuma mau makan siang sama kamu. Ini gimana sih, bukannya kamu dalam usaha minta maaf ke aku ya? Aku udah deket lobi kantor dan bakalan tungguin kamu di sana. Aku gak bakalan makan siang sampai kamu turun dan temani aku. Atau aku langsung jemput kamu ke ruangan kamu, gimana?
Mulutku ternganga melihat balasan panjang El. Hilang sudah tampilan cool dan seriusnya yang terkadang jadi daya tarik terkuatnya itu. Kekananak-kanakan sekali dia. Apa sih bedanya makan siang dengan atau tanpa aku? Biasanya juga kami tidak pernah makan siang bersama.
'El makan siangnya barengnya lain kali aja ya, plis. Lain kali aku janji.'
'Lain kali kamu gak jelas kapan. Aku mau siang ini. Kamu mau aku maafin aku gak?'
Astaga orang ini. Aku cuma membiarkan pesan El tanpa membalasnya. Aku sedang memikirkan cara bagaimana bisa menemui El tanpa jadi pusat perhatian orang-orang. El kembali mengirimkan pesan sepuluh menit kemudian lengkap dengan foto lobi. Aku udah sampai, katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~