Tidak ada perasaan lain yang menguasai hatiku sekarang lebih dari perasaan menyesal. Menyesal karena tidak mendengarkan perkataan orangtuaku, menyesal karena terlalu memaksakan kehendakku, dan menyesal tidak bisa menahan mulutku untuk tidak mengatakan hal buruk tentang Emma. Sekarang semuanya berantakan. Elnathan tidak menyetujui rencana perjodohan dan sekarang dia membenciku karena perilakuku sendiri. Dan yang paling menyedihkan adalah aku sudah merendahkan harga diriku untuk sesuatu yang sia-sia. Aku membutakan mata dan pikiranku untuk sesuatu yang aku sudah tahu jawabannya. Dengan kesadaran penuh aku menghantarkan diriku untuk patah hati.
Puluhan pesan dan telepon serta email yang aku kirim untuk Elnathan tidak satupun mendapat respon. Padahal niatku sekarang adalah murni untuk minta maaf dan kalau memungkinkan untuk memperbaiki hubungan pertemanan kami. Untuk kali ini aku tidak mau melibatkan papa lagi. Aku tidak mungkin mempermalukan papa untuk kedua kalinya hanya karena aku yang terlalu memaksakan kehendak. Ketika asyik menggulir layar ponselku, aku melihat tidak sengaja melihat chat terakhirku dengan Emma. Otakku berpikir cepat. Mungkin kali ini aku harus meminta bantuan Emma untuk bisa bertemu dengan Elnathan. Selain itu, aku juga harus meminta maaf kepada Emma untuk masalah perjodohan itu.
'Emma, aku bisa bertemu dengan kamu?'
Cepat-cepat kukirimkan pesan itu. Aku tidak bisa menahan degup jantungku menanti balasan dari Emma. Entah kenapa perasaanku mengatakan bahwa Emma juga sedang marah kepadaku.
'Boleh. Ketemu untuk apa ya, Lin?' Terpujilah Emma dengan kebaikan hatinya.
Segera kukirimkan pesan balasan dan mengajaknya besok sore bertemu di salah satu mal di pusat Jakarta. Aku menawarkan jemputan tetapi ditolak oleh Emma. Semoga kali ini rencana yang aku pikirkan benar-benar terealisasi dengan baik.
***
"Hai, Em," sapaku ketika melihat Emma sudah duduk di tempat pertemuan yang kami sepakati. Emma hanya tersenyum dan aku melihat bahwa wajah Emma sedikit pucat dan matanya kelihatan sembab.
"Kamu lagi sakit?"
Emma hanya menggeleng. "Lagi ada beban pikiran aja".
Dan aku sekarang benar-benar yakin bahwa masalah itu berhubungan dengan Elnathan. Aku benar-benar menyesal sekarang.
"Em..aku mau jelasin sesuatu sama kamu tentang perjodohan itu," kataku dan Emma terlihat terkesiap. Wajahnya kelihatan tidak nyaman.
"Aku dan Elnathan sebenarnya belum benar-benar dijodohkan." Aku menarik napas sejenak sebelum melanjutkan penjelasanku.
"Aku memang minta papa aku buat ngomong ke orangtua Elnathan buat nyaranin perjodohan ini. Ternyata om Bram setuju dan aku udah keburu terlalu senang. Aku dengan semangatnya cerita ke kamu duluan. Mungkin di mata kamu aku kelihatan ambisius banget ya, Em? Aku minta maaf karena bukannya aku gak tahu kalau kamu sama Elnathan punya hubungan lebih dari teman, tapi aku mutusin buat nutup mata. Kata-kata aku kemarin pasti nyakitin kamu ya?"
Emma masih tetap diam, tetapi tatapannya seolah sedang menyelidikiku.
"Aku dan Elnathan cuma berteman," jawabnya pelan. Aku tahu dia bohong dan aku tidak ingin memercayai bahwa mereka hanya teman. Aku tertawa kecil.
"Em..kamu gak usah malu buat jujur ke aku. Siapapun yang lihat interaksi kalian pasti tau kalau kalian gak berniat untuk hanya sekedar berteman." Sebenarnya, ada perasaan nyeri di hatiku ketika mengatakan itu. Bagaimanapun perasaanku kepada Elnathan tidak mungkin hilang dalam satu malam.
"El beberapa hari yang lalu marah besar sama aku, Em. Dan sekarang dia benar-benar nolak buat ketemu aku."
"Dia marah besar hanya karena gak setuju sama perjodohan ini?" tanya Emma heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~