Emma- New Doubts

2.4K 259 3
                                    

Aku membalas pesan yang dikirimkan oleh Elnathan sekaligus mengabari bahwa aku akan segera boarding. Pagi ini aku akan kembali ke Jakarta setelah menghabiskan weekend di Jogja. Sebenarnya aku sudah di Jogja sejak Kamis kemarin, mendampingi penulisku meet & greet. Kemudian, di hari Sabtu aku menyempatkan untuk pulang ke rumah ibuku, mengingat sudah hampir satu tahun aku tidak sempat pulang ke rumah. Ibu hanya tinggal sendiri sekarang sejak ayah meninggal tiga tahun yang lalu. Terkadang, kakakku yang tinggal di Semarang datang mengunjungi ibu di akhir minggu.

Seharian bersama ibu aku manfaatkan untuk menceritakan apa saja yang terjadi ketika aku di perantauan. Aku jarang bisa terbuka bercerita kepada orang lain, dan ibu adalah satu-satunya yang paling kupercaya sebagai teman berceritaku sekaligus sang pemberi moral support. Tentu saja aku menceritakan mengenai Elnathan dan pengakuannya hampir dua bulan yang lalu. Isi kepalaku terasa penuh karena memikirkan apa yang akan kukatakan ketika bertemu dengan Elnathan. Aku bersyukur karena kami belum sempat bertemu karena sama-sama sibuk sehingga aku bisa mendapat waktu tambahan untuk berpikir. Dan sebenarnya sampai sekarang aku masih bingung jawaban apa yang akan aku berikan. Jika umurku masih 19 atau 20 tahun mungkin aku bisa dengan mudah mengatakan ya dan menyampingkan semua rasa minder itu. Tetapi umurku yang sudah menuju 26 tahun, pacaran yang dipikiranku sudah dilengkapi dengan label serius, dan akan berharap akan bermuara di pernikahan. Aku tidak tahu pasti dengan Elnathan, tetapi dari dia juga pernah mengatakan bahwa orangtunya sudah mendesak dia untuk menikah. Jelas saja, usianya lebih tua tiga tahun dariku. Jadi kurasa bukan saatnya lagi bagi kamu untuk mencoba-coba dalam menjalin hubungan.

"Kamu udah kenal Elnathan ini udah berapa lama, Em?" begitu pertanyaan ibu ketika aku menceritakan mengenai kiriman bunga dari Elnathan. Tidak lupa aku juga menceritakan mengenai latar belakang keluarga Elnathan dan juga semua rasa minderku.

"Hampir enam bulan, Bu."

"Kamu suka sama dia?"

Aku mengangguk perlahan. Ibu mengelus kepalaku dan tersenyum. Senyum teduh yang selalu menenangkanku.

"Ibu sih seneng kalau ada yang deketin kamu gini. Kan syukur-syukur kalau bentar lagi ibu punya mantu baru. Tapi...." Ibu terdiam dan aku memandangnya. Jantungku berdegup lebih kencang dan sepertinya sudah menduga apa kata-kata ibu selanjutnya.

"Tapi apa, Bu?"

"Tapi mungkin ibu lebih nganjurin kamu apa gak sebaiknya cari yang lain aja, Em? Tadi kamu yang bilang kalau kamu ada minder karena dia orang kaya dan kamu ngerasa gak setara sama dia. Kalau masih berteman aja kamu udah minder, gimana kalau kalian pacaran nanti. Apalagi kalau udah nikah. Kamu tau kan Em, kalau misalnya kalian pacaran yang serius berarti kamu harus belajar berbaur sama teman-temannya sama keluarganya, sama kegiatan-kegiatan mereka. Orang-orang kaya itu kan gak kayak kita, Em."

Harusnya aku tidak terkejut dengan kata-kata ibu karena aku juga takut akan hal-hal itu.

"Ibu bukannya melarang kamu untuk mencoba sama dia. Tapi ibu juga gak mau kamu bakalan merasa tertekan nantinya dan sakit hati. Kalau kamu gagal berbaur sama mereka, maka kamu bakalan dicap buruk dan kamu jadi malah makin ngerasa rendah diri. Kamu ngerti maksud ibu kan, Em?"

Aku kembali mengangguk dan juga merasa sangat sedih. Ucapan ibu memang benar. Bahkan ada kalanya aku meragukan perasaanku sendiri terhadap Elnathan karena merasa tidak akan sanggup menjalaninya.

"Kata-kata ibu bisa kamu jadiin masukan ya, Em, tapi bukan berarti jadi penentu mutlak jawaban kamu. Yang jalanin kan kamu juga sama Elnathan. Kamu gak mau ceritain kalau kamu minder sama Elnathan?"

Aku menggeleng dan tanpa sadar air mataku menetes. Aku sedih entah untuk apa.

"Kalau Elnathan memang laki-laki baik dan serius sama kamu, harusnya dia bisa bantu kamu untuk belajar kenal sama lingkungannya dia. Kamu udah pernah diajak ketemu sama keluarganya?"

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang