Aku dan papa hanya meeting sekitar setengah jam, itupun gara-gara ada sedikit masalah di kantor yang harus diketahui oleh papa. Sebenarnya aku sedikit tidak enak meninggalkan Emma sendirian karena bagaimanapun dia baru pertama kali ke rumah. Aku tidak yakin tante-tanteku dan juga sepupuku yang berisik itu tidak menganggunya. Benar saja, ketika aku dan papa kembali ke taman belakang, mama terlihat sedang bicara serius dengan tante-tanteku dan Emma tidak terlihat lagi. Seketika panik menguasai pikiranku.
"Mbak, seharusnya gak boleh ngomong seperti itu. Dia baru pertama kali ketemu sama kita dan udah diperlakukan gak enak. Saya aja gak keberatan sama Emma, kan ibunya Elnatahan itu saya." Baru kali ini kudengar mama berbicara kepada tanteku yang adalah kakaknya dengan nada setinggi itu.
"Kita hanya ingin yang terbaik buat keluarga kita ini, Andari. Apalagi Elnathan itu bakalan nerusin perusahaan suamimu kan?"
"Tapi bukan berarti mbak berhak buat nentuin pasangan Elnathan. Elnathan yang tahu yang terbaik untuk dia dan saya bakalan dukung. Kalian semua tidak perlu merepotkan diri untuk ngurus itu juga," jawab mama tidak kalah sengit. Baiklah sekarang aku sudah mengerti permasalahannya. Aku menarik napas berat. Setelah ini hubunganku dan Emma akan kembali lagi mundur dan syukur dia masih mau kudekati lagi.
"Ma..." panggilku pelan dan seketika mama dan tante-tanteku menghentikan perdebatannya.
"Emma mana?" tanyaku.Mama mengusap lenganku, "tadi dia balik duluan, katanya ada kerjaan mendadak."
Bohong, aku yakin dia menggunakan alasan itu agar bisa segera pergi dari sini. Emma jarang sekali mau mengambil pekerjaan di hari sabtu begini. Aku segera berbalik untuk mengejar Emma. Perasaanku sudah tidak karuan. Aku marah sekali dengan tante dan sepupuku yang suka ikut campur ini, tetapi karena aku menghargai orangtuaku aku memilih tidak melampiaskan kepada mereka. Ucapan mama tadi sepertinya sudah cukup mewakili perasaanku.
"El..." panggil mama dan aku berbalik hanya untuk menoleh kepada mama. "Sampaikan maaf mama untuk Emma ya!"
Aku mengangguk dan kemudian pamit kepada papa yang masih berdiri di pintu.Sepanjang perjalanan aku berusaha menghubungi Emma dan tentu saja hasilnya nihil. Aku sudah menduga Emma akan bersikap seperti ini dan ini membuat emosiku semakin naik. Kebiasaannya kabur setiap ada permasalahan hanya membuatku tersiksa karena bingung harus berbuat apa. Setelah perjalanan yang rasanya sangat panjang, aku tiba di kosnya hanya untuk menemukan fakta bahwa dia juga tidak ada disana. Aku menarik rambutku kesal, sekarang aku harus bagaimana lagi?
***
Hingga hari Senin, Emma belum juga ada kabar. Sabtu dan Minggu sudah kuhabiskan waktu untuk menunggu di kosnya, berharap dia akan kembali walaupun hasilnya sia-sia. Aku tahu dia tidak memiliki keluarga yang tinggal di Jakarta dan aku tidak tahu alamat teman-temannya yang mungkin dia kunjungi. Sudah kukatakan, bahwa Emma jarang sekali mau menceritakan panjang lebar tentang dunianya.
Aku sendiri menjadi uring-uringan. Sikap Emma yang seperti ini membuatku benar-benar tidak yakin bahwa apa yang dia katakan tentang perasaannya adalah benar. Ketika ada masalah dia kemudian menghindariku seolah akulah penyebab masalah itu. Dia mengambil keputusan untuk menghindariku tanpa mau memberitahuku terlebih dahulu permasalahan yang terjadi.
Jam sudah memasuki jam makan siang dan sepertinya aku ingin makan siang yang jauh dari kantor sekaligus ingin kembali ke apartemen. Aku tidak bisa bekerja dengan pikiran yang tidak fokus seperti ini. Ketika akan menuju mobilku, aku melihat Emma dan beberapa orang temannya juga menuju salah satu mobil. Dia terlihat biasa saja. Bisa tertawa dengan teman-temannya sedangkan dia membiarkanku kebingungan mencari dia kemana. Emosiku seketika naik. Tidak peduli dengan peringatan Emma agar tidak menemuinya di kantor, aku segera bergegas mendekati mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~