Elnathan- Confession

2.7K 269 2
                                    

Aku tidak tahu apa yang merasukiku hingga dengan yakinnya mengirimkan bunga itu kepada Emma. Yang aku tahu, di dalam hatiku aku merasa yang aku lakukan sudah benar. Aku hanya ingin Emma bisa mengetahui secepatnya apa yang aku rasakan. Ide mengirim bunga itu muncul di pikiranku karena kemarin malam papa melakukan hal yang sama untuk mama. Setelah memenuhi ajakan ngopi bareng Alina, di perjalanan pulang papa meminta bantuanku. Papa menyuruhku mengambil pesanan papa untuk mama di toko bunga dan mengantarnya ke rumah. Sebenarnya kebiasaan itu sudah terjadi lama antara papa dan mama. Setiap bulannya, papa akan memberikan bunga kepada mama dan disertai kata-kata penuh cinta yang klise. Dulu, aku selalu menganggap apa yang dilakukan papa adalah hal yang menggelikan. Namun ketika melihat ekspresi mama ketika menerima bunga itu, seketika aku membayangkan ekspresi seperti itu di wajah Emma. Ekspresi senang dan penuh cinta.

Ternyata, keesokan harinya aku menyadari jiwa pecundangku lebih besar daripada keinginanku melihat Emma. Alih-alih memberikan langsung bunga dan sekotak brownies kesukaannya, aku malah menyuruh kurir mengantarkannya. Tak lupa di bunga itu juga kuberi kartu berisi ucapan yang tak kalah klise dari papa. Aku hanya berharap yang aku tuliskan di kartu bisa dipahami oleh Emma dan kemudian dia akan membalasnya dengan ucapan yang sama. Harapan tinggal harapan, Emma hanya diam bahkan hingga di akhir telepon kami. Aku kecewa, tentu saja. Namun, aku terus merapalkan dalam hati bahwa Emma terlalu terkejut dan butuh waktu untuk mencerna semua ini. Bukan karena perasaanku yang bertepuk sebelah tangan. Ya, semoga seperti itu.

***

Saat jam makan siang, aku terkejut melihat pesan dari Alina yang mengatakan dia sudah ada di lobi kantorku. Katanya, dia ingin menagih janjiku kemarin. Aku tertawa kecil, tidak menyangka bahwa Alina memang seserius itu.

Kemarin ketika kami berdua mengobrol di kafe tempat aku melihatnya marah-marah, Alina banyak bercerita tentang hidupnya. Bagaimana dia dipaksa papanya untuk belajar bisnis, bagaimana dia dilarang menjadi model walaupun dia tetap melakukannya hingga sekarang, dan bagaimana tersiksanya dia harus bekerja di kantor. Hingga akhirnya, Alina menjelaskan permintaan tolongnya kepadaku. Alina mengaku bahwa akhir-akhir ini dia mulai ingin menuruti keinginan ayahnya untuk meneruskan perusahaan. Hal itu juga yang membuatnya mau untuk pertama kali ikut meeting denganku. Tetapi, Alina merasa kesulitan. Dia tidak memahami apapun dan mengaku bahwa dasar-dasar manajamen perusahaan pun dia tidak tahu. Aku sedikit tidak percaya, mengingat dia adalah lulusan sarjana administrasi bisnis. Namun seolah tahu ketidakpercayaanku, Alina dengan sedikit ekspresi malu di wajahnya menjelaskan bahwa dia lulus dengan nilai yang sangat memprihatinkan dan dia sangat yakin bahwa dia sebenarnya bisa lulus hanya karena bantuan papanya.

"Kamu sebenernya lebih baik minta bantuan papamu, Alin. Tiap perusahaan itu punya gaya manajemen yang beda-beda. Lagipula kamu mau nerusin perusahaan papamu, kan?"

Alin menggeleng kuat.

"Papa pasti kesulitan ngajarin aku, El dan diajarin papa itu bener-bener gak enak. Papa lebih banyak nyalahin kerjaanku sebagai model dan kelakuanku pas kuliah daripada ngajarin. El, ini kamu cuma perlu ngajarin aku basic nya aja. Kamu kan udah lulus magister El. Ngajarin aku pasti gak susah kan buat kamu? I promise I'll behave," jawabnya panjang.

Dan akhirnya, for the sake of our childhood memories aku menyanggupi permintaannya. Tetapi, aku benar-benar tidak menyangka dia langsung menagihnya hari ini.

***

Alina tersenyum lebar ketika melihatku keluar dari lift. Dia berlari kecil menemuiku dengan riang. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya seperti anak kecil.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang