Aku tahu bahwa Elnathan ke Bali untuk menemui Emma. Sejak dari Jumat yang lalu, aku sebenarnya sudah curiga pada siapa teman yang akan Elnathan temui. Dan ternyata dugaanku benar dan Emma sendiri yang mengakuinya. Dengan dalih ingin berkunjung ke kos Emma untuk memberikan oleh-oleh dari Surabaya, Emma mengatakan dia sedang di Bali. Aku sekarang merasa marah dan kesal. Apakah Emma tidak bisa memahami maksudku memberitahu dia tentang aku dan Elnathan adalah agar Emma bisa sedikit menjauh dari Elnathan. Dan sekarang aku malah menemukan fakta bahwa mereka sedang liburan berdua.
"Kamu kok bengong gitu, Lin?"
Aku menolehkan kepala ketika mendengar suara di belakangku dan menemukan papa sedang berdiri di pintu kamarku. Sejak kembali dari Surabaya, mama memang memintaku untuk menginap di rumah.
"Papa disuruh mama buat manggil kamu. Mama udah masak buat makan siang. Ayo, turun sebelum mama marah," lanjut Papa lagi. Melihat wajah papa, aku teringat dengan ide yang sebenarnya sudah muncul di kepalaku sejak aku mulai tertarik pada Elnathan. Tetapi, selama ini ide itu kusimpan karena tidak yakin papa dan mama akan setuju.
"Pa, aku mau ngomong sesuatu," ucapku akhirnya. Papa langsung memicingkan matanya, berusaha menebak arah pembicaraanku.
"Nanti aja habis makan siang aku kasih tau"
Papa akhirnya mengangguk dan kami berdua berjalan ke dapur sebelum mama mulai berteriak memanggil kami. Sepanjang makan siang, jantungku rasanya berdebar-debar karena grogi dengan ideku sendiri. Tetapi, entahlah rasanya ketertarikanku pada Elnathan sudah membutakan semuanya.
"Ini masalah kerjaan, Lin?" tanya papa ketika kami berdua sudah di ruang kerjanya setelah makan siang. Aku menggeleng.
"Pa...aku mau papa bantu Alina sekarang"
Papa menatapku tajam."Ini tentang Elnathan lagi?"
Aku mengangguk. Papa memang benar-benar jeli dan sekarang dia sudah menggeleng."Kamu mau dibantu gimana lagi, Lin? Kamu udah papa libatin di semua kegiatan papa sama Elnathan. Kalian juga kelihatannya udah akrab. Bukannya kamu sering makan siang bareng dia?"
"Tapi itu belum cukup, Pa" jawabku memelas. Semua itu memang belum cukup selama ada perempuan lain yang walaupun jarang makan siang bersama Elnathan tetapi mendapatkan seluruh perhatiannya.
"Papa gimana kalau jodohin aja Alin sama Elnathan, Pa? Papa kan deket sama om Bram. Rekan bisnis dari dulu. Jadi mungkin kalau papa ajuin perjodohan kayak gini om Bram pasti setuju? Iya kan, Pa?"
Papa mengusap wajahnya kasar mendengar bom yang baru saja aku jatuhkan. Aku tahu ini bukan ide yang baik tetapi menurutku perlu dilakukan. Aku sudah terlalu menyukai Elnathan dan aku adalah Alina yang dari kecil sudah terbiasa mendapatkan yang aku mau. Dengan usahaku sendiri ataupun dengan bantuan orangtuaku.
"Papa gak setuju. Mama juga pasti gak setuju. Lin, yang menawarkan perjodohan itu biasanya dari laki-laki, Alin dan kamu mau kita merendahkan harga diri kita hanya untuk keinginan kamu yang gak masuk akal itu?"
Aku memasang wajah memelas. Papa benar tetapi bukankah kita perlu melakukan sesuatu yang ekstra untuk hasil yang ekstra juga.
"Lin, kamu tau kan orangtua gak seharusnya terlalu banyak mencampuri urusan percintaan kalian. Elnathan juga pasti gak bakalan suka dengan ide seperti ini. Kalau memang kamu dan Elnathan gak cocok, kamu bisa cari laki-laki yang lain."
"Tapi mau Elnathan, pa. Papa juga sebenarnya pasti gak keberatan kan kalau Elnathan yang jadi menantu Papa?"
"Kalau dengan cara yang kayak gini Papa keberatan, Lin. Ide kamu itu terlalu mengada-ngada. Papa gak setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~