Emma- Healing Process (1)

3K 250 14
                                    

Minggu ini aku memulai konsultasiku denga psikolog kenalan Alina. Alina menawarkan untuk menemaniku, tetapi kutolak. Menurutku keberanianku harus dimulai dari hal sekecil ini. Butuh waktu cukup lama aku mempertimbangkan saran untuk konsultasi seperti ini. Aku takut dipandang sakit jiwa karena berkunjung ke psikolog. Bukannya apa-apa, tetapi stigma yang tertanam di masyarakat terlalu kuat. Mulai dari menonton youtube hingga membaca artikel pengalaman orang-orang yang sudah melewati terapi di psikolog. Ternyata, tidak semua yang berkunjung karena permasalahan mental yang berat. Beberapa orang bahkan berkunjung hanya untuk bercerita dan meluapkan isi hatinya agar tidak menjadi toksik nantinya.

"Mbak...menurut mbak masalah saya ini gak terlalu sepele untuk saya konsultasi ke mbak?" tanyaku kepada mbak Rina, psikologku. Setelah perkenalan dan mengobrol singkat, topik kami mulai mengarah ke keluhanku.

"Enggak ada yang sepele kalau berhubungan dengan pikiran dan mental, Em. Sekarang mungkin terlihat sepele, tapi nanti? Semua masalah kayak depresi, harga diri rendah, dan masalah mental lainnya dimulai dari hal-hal yang dianggap gak penting loh."

"Gimana kalau nanti orang-orang malah menganggap saya terlalu lemah atau malah ngira saya gila mbak? Mbak tau kan kalau permasalahan yang berhubungan dengan psikiater atau psikolog itu jelek sekali dipandang orang lain."

Mbak Rina tersenyum menenangkanku. Baru pertemuan pertama, tetapi aku sudah merasa cocok dengan dia. Mungkin karena sikap yang benar-benar terbuka dan selalu lebih aktif bertanya kepadaku, membuatku yakin bahwa dia akan mendengarkanku dengan sabar.

"Gini deh Em, menurut kamu seberapa penting sih omongan dan pendapat orang ke kehidupan kita?"

Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban yang tepat. Jujur saja secara tidak langsung aku menganggap bahwa omongan orang lain itu penting. Aku sering ketakutan membayangkan teman-temanku akan membicarakanku di belakang. Sebenarnya sudah kejadian, Hana dan Jojo contohnya nyatanya. Itu benar-benar menyakiti hatiku, apalagi yang mereka bicarakan tentang ketidaklayakanku. Kepercayaan diriku yang tidak terlalu tinggi langsung jatuh ke dasar terendah.

"Jujur aja saya termasuk orang yang merasa omongan orang lain itu pentung, mbak. Saya pernah diomongin di belakang sama teman kantor saya mbak, sejak itu saya jadi kayak trauma dan berhati-hati bersikap karena takut bakalan diomongin yang jelek-jelek lagi. Selain itu, sebenarnya dari kecil saya sering merasa kalau saya itu insecure dan punya kepercayaan diri yang rendah, mbak. Saya selalu berada di lingkungan sekolah yang anak-anaknya pintar, cantik atau ganteng, dan berasal dari keluarga berada. Dari sejak saya sekolah dasar, saya jarang diajak berteman karena saya gak bisa ikut mereka beli jajanan kayak mereka atau punya mainan mahal kayak mereka dan kemampuan otak saya juga biasa- biasa aja. SMP, SMA dan kuliah juga gak jauh-jauh dari hal begitu, mbak. Mungkin karena hal-hal kayak gitu buat saya sering ngerasa kecil dan keterusan sampai sekarang. Ditambah lagi saya dengar orang lain ngatain saya di belakang, buat saya makin gak punya percaya diri, mbak."

Mbak Rina mendengarkanku sambil menulis di catatannya. Mungkin menuliskan apa yang aku ceritakan.

"Dulu sewaktu kamu hampir gak punya teman, kamu pernah cerita ke keluarga kamu atau mungkin kamu punya satu teman dekat dari luar lingkungan sekolah kamu?"

Aku menggeleng. "Saya bukan orang yang pintar mengungkapkan isi hati saya, mbak. Apalagi dulu saya lihat sendiri kalau orangtua saya harus bekerja keras biar saya dan saudara saya bisa sekolah dengan baik. Saya gak mau merepotkan mereka dengan cerita saya yang hanya tentang gak punya teman di sekolah. Orangtua saya juga sudah mengajarkan dari kecil kalau saya harus jadi anak yang mandiri karena menurut mereka di masa depan yang jadi penolong untuk diri kita sendiri ya hanya kita, mbak."

"Saya gak menyalahkan prinsip yang diajarkan orangtua kamu ya, Em. Memang ada benarnya kalau yang bisa menolong kita hanya kita sendiri. Tetapi kita juga gak bisa menutup mata kalau terkadang bentuk pertolongan yang kita lakukan untuk diri kita adalah dengan bercerita ke orang lain kan?" jawab mbak Rina dengan nada tenang.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang