Seharusnya aku tidak perlu mengirimkan alamatku kepada El. Seharusnya dia tidak perlu tahu keadaanku sekarang. Aku hanya perlu mengabaikan pesan dan teleponnya, kemudian meminta maaf besok. Tetapi, di dalam hatiku aku sadar bahwa aku butuh teman bercerita dan berharap dia akan mengerti keadaanku. Aku membutuhkan El untuk membantuku menenangkan pikiranku yang kalut ini. Melihat El muncul di kosku dengan masih menggunakan pakaian kerja, sedikit rasa bersalah muncul. Jarak kantornya dan kosku sudah cukup jauh, apalagi dari rumahnya. Aku sedikit menyesal telah membuat dia repot, tetapi aku tidak akan berbohong bahwa ada sisi hatiku yang senang karena dia benar-benar mengunjungiku.
Selama bercerita panjang lebar pada El, air mataku tidak bisa berhenti mengalir. El hanya diam dan mendengarkan ceritaku. Dan secara mendadak dia memelukku. Aku terdiam kaku dan jantungku berdebar kencang sampai aku takut dia bisa mendengarnya. Selama ini kami tidak pernah kontak fisik seperti ini. Dia hanya pernah menarik lenganku atau mengusap puncak kepalaku kalau dia sedang gemas ketika aku mendebat ucapannya.
"Kamu pasti sedih banget ya Em, aku minta maaf karena tadi udah maksa kamu. Maafin aku karena udah egois banget. Harusnya aku udah bisa prediksi ini waktu kamu bilang bakalan timbul gosip. Maaf ya, Em," katanya sambil mempererat pelukan di tubuhku.
Mendengar El berkata seperti itu, air mataku kembali mengalir deras. Ini bukan lagi tangis kekesalan karena kejadian tadi. Aku menangis karena terharu mendengar permintaan maaf yang tulus dari El. Elnathan tidak sepenuhnya salah. Mau bagaimanapun gosip tentangku pasti akan tetap ada walaupun aku tidak jalan dengan El. Aku merasa aku yang terlalu kekanak-kanakan dalam menghadapi ini. Harusnya kuabaikan saja mereka seperti yang biasa kulakukan tanpa perlu menangis. Aku tidak membalas pelukan El karena aku terlalu malu untuk melakukannya. Tetapi aku tahu pelukan yang dia berikan sangat nyaman.
Setelah tangisku mereda, El melepaskan pelukannya. Dia mengangkat wajahku dan menghapus sisa air mata di pipiku. Aku langsung membuang muka dan berdehem kecil karena tidak kuat melihat tatapan El yang intens itu. Aku yakin wajahku sudah memerah sekarang.
"Kamu gak usah peduliin mereka, Em. Kalau bisa lawan aja mereka, kalau perlu di depan umum. Biar mereka malu dan sadar kalau yang mereka omongin itu semuanya salah," katanya kemudian.
Aku menatapnya ngeri. Bertengkar dengan Hana dan Jojo malah akan menimbulkan berita baru dan aku yakin berita itu akan segera menyebar luas. Dan akan menimbulkan gosip yang melenceng kemana-mana.
" Ya.. Kalau lihat karakter kamu sih, kayaknya kamu gak bakalan mau ngelawan mereka. Kamu abaikan mereka aja ya, aku janji gak bakalan ajak kamu ketemu lagi di kantor. Nanti mereka pasti bosan sendiri. Tapi kamu harus janji buat cerita ke aku ya, Em, kalau mereka ganggu kamu lagi. Kalau mereka sesudah ini malah makin keterlaluan sama kamu, kamu harus lawan ya..kalau perlu aku nanti yang bakal temuin mereka.. Oke?" lanjutnya lagi.
Aku hanya mengangguk dan berharap semoga masalah ini hanya sampai hari ini saja. El tersenyum dan kemudian memegang tangan kananku. Aku baru saja ingin menarik tanganku karena merasa canggung, perut El yang berbunyi terlebih dahulu menyelamatkanku. Aku tertawa melihatnya yang mengeluh lapar dengan malu-malu. Kami akhirnya memutuskan untuk delivery karena tidak mungkin aku keluar dengan wajah habis menangis seperti ini.
***
El pamit pulang setelah menyelesaikan makan malam. Sepeninggal El, aku bersih-bersih sampah makanan kami tadi dan juga mandi. Ketika bersiap tidur, pesan dari El masuk, mengatakan dia baru sampai di apartemennya. Aku tersenyum dan juga kebingungan. Aku dan El sudah menjadi teman baik. Teman yang sangat baik. Kami selalu saling mengabari satu sama lain setiap hari. Sebelum tidur, tidak jarang El meneleponku hanya itu bercerita betapa menyebalkannya pekerjaannya di kantor atau hal-hal lain yang menurut kami menarik.
Aku menyukai El. Bahkan mungkin sangat menyukainya. Aku tidak pernah punya hubungan seperti ini sebelumnya. Aku tentu saja pernah tertarik dengan beberapa teman lelakiku, tetapi aku tidak pernah merasa bahwa perasaan tertarik itu penting dan akhirnya aku lupa secara perlahan-lahan. Aku tidak bisa bohong bahwa wajah tampan El dan pembawaannya yang cool tetapi berkharisma adalah daya tarik utamanya. Selain itu, El yang mau berteman denganku yang bukan apa-apa ini dibandingkan teman sepergaulannya adalah keistimewaan yang tidak semua orang miliki. El tidak pernah malu berteman denganku, sebaliknya aku yang sering merasa malu dan tidak pantas berjalan di sampingnya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan kalau aku bisa punya teman seperti El. El tidak pernah menganggapku tanggapanku bodoh meskipun dari segi kualitas pendidikan dia jauh di atasku. Aku hanya lulusan sarjana dari universitas dalam negeri, dan El sudah lulus magister dari luar negeri. Kampusnya bukan kampus asal-asalan pula. El sering mengajariku banyak hal. Pengetahuannya yang luas sering memacuku untuk rajin membaca agar aku bisa mengerti yang dia bicarakan, setidaknya sedikit saja. Aku selalu berusaha menjadi teman yang baik untuknya, seperti dia selama ini kepadaku.
Aku kembali teringat kejadian sewaktu makan siang tadi sebelum kejadian gosip menyebalkan itu.
"Aku suka kamu Em." Begitu katanya secara mendadak dan otomatis membuatku yang sedang minum tersedak dan batuk-batuk. Aku melebarkan mata dan menatapnya ngeri. Aku sungguh berharap aku salah dengar. Atau mungkin, El hanya sedang latihan untuk mengungkapkan perasaan pada perempuan lain. Aku hanya diam karena terlalu takut untuk mengeluarkan kata-kata sebagai respon pada El. Tak lama kemudian, El langsung tertawa terbahak-bahak dan menertawai wajahku yang katanya sangat lucu.
"Aku harusnya sediaiin kaca di sini Em, kamu harus lihat muka kamu sekarang. Kamu kayak habis lihat hantu, tau gak? Padahal aku cuma bercanda," katanya sambil terus tertawa.
Hatiku mencelos mendengar El berkata seperti itu. Aku hanya menunduk dan berusaha menenangkan jantungku yang yang berdebar tidak karuan. Sedangkan El, dia melanjutkan makan siang dengan tenang. Sepertinya dia memang benar-benar bercanda dan hanya berniat mengerjaiku.
Aku menyukai El, bahkan mungkin mencintai dia. Tetapi aku tidak pernah berani membayangkan El dan aku menjadi pasangan. Perasaan minder di hati dan pikiranku terlalu kuat. Elnathan mungkin sudah menyadari itu. Beberapa kali dia menatapku kesal ketika aku menolak dia mengantarku atau mengambil jarak ketika berjalan dengannya. Aku tidak cukup percaya diri dengan penampilanku ketika di sampingnya. El terlalu sempurna dalam bidang apapun. Wajah rupawan, kepintaran di atas rata-rata, dan background keluarga yang mentereng. Perasaan minderku ini sering membuatku berpikir berlebihan. Bagaimana kalau nanti ketika aku menjadi pacarnya, orangtuanya tidak tertarik padaku. Setiap orangtua pasti ingin kualitas terbaik untuk anaknya, yang sepadan dengan dia. Bagaimana juga kalau nanti aku tidak mampu mengikuti gaya hidup El dan keluarganya. Aku tidak yakin bisa berdandan agar bisa terlihat mewah dan anggun seperti yang biasa orang-orang dari kelas sosial El tunjukkan. Aku pasti tidak akan bisa ikut dalam pembicaraan mereka tentang tas terbaru, mobil terbaru, berlian, atau barang-barang mahal lainnya. Aku takut nantinya malah akan merasa terintimidasi dengan lingkungan kehidupan El dan berakhir akan menyusahkan dan membuat malu El.
Aku menyukainya, tetapi hanya membayangkan kehidupan dan lingkup pergaulan yang akan kuhadapi bila bersama El saja sudah membuatku ketakutan. Dan yang lebih menakutkan lagi adalah, bagaimana kalau ternyata perasaanku ini hanya sepihak.
Thankyou for reading and see you in the next part 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~