Hari Senin seperti ini, jangan harap aku mau bekerja di kantor. Biasanya di kantor akan sangat sibuk dan aku tidak mau kehadiranku di sana akan memberikan kesibukan tambahan bagi rekan kerjaku karena harus ikut memperbaiki pekerjaan yang aku kacaukan.
Aku memasuki coffee shop langgananku di dekat apartemen dan memutuskan akan makan siang di sini. Aku mengernyit heran ketika menemukan ada Emma yang juga sedang makan siang sendirian. Kantornya ada di Jakarta Selatan sehingga cukup aneh kalau kalau dia kesini hanya untuk makan siang. Aku menoleh sekeliling untuk mencari siapa tahu ada Elnathan bersamanya sebelum akhirnya melangkahkan kaki mendekati meja Emma. Sedikit banyak, aku memang berharap Elnathan juga ada disini.
Ketika aku menyapanya, Emma terlihat terkejut melihatku. Aku tersenyum. Meskipun masih terlihat tidak percaya bertemu lagi denganku, Emma dengan baik hatinya menawarkan makan siang bersama, yang dengan senang hati kuangguki.
Aku sendiri juga merasa heran kenapa aku akhir-akhir ini sering bertemu dengan Emma dan Elnathan secara tidak terduga. Seperti beberapa hari yang lalu, entah angin baik apa yang mendorongku untuk pergi ke toko buku. Niatku awalnya hanya ingin melihat majalah fashion terbaru dimana aku jadi modelnya, dan terimakasih kepada mataku yang cukup jeli melihat Emma yang juga ada di sana.
Aku berpikir cepat mencari ide untuk bisa mengajak Emma bicara. Pura-pura meminta sarannya mengenai buku yang baik sepertinya adalah ide yang baik, mengingat dia adalah seorang editor. Benar saja, Emma dengan senang hati membantuku. Padahal aku sangat tidak suka membaca. Membaca buku jenis apapun selalu membuatku bosan, tidak peduli bagaimana alur ceritanya. Bahkan sampai sekarang, lima buku yang aku beli atas anjuran Emma tergeletak entah dimana. Aku lupa.
Dari awal mengobrol dengan Emma, aku langsung sadar bahwa dia adalah orang baik dan ramah, tentu saja. Dia selalu menyelipkan senyumnya selama kami mengobrol. Sekarang aku bisa sedikit mengerti kenapa Elnathan bisa terlihat sangat nyaman berada di dekat Emma. Pendengar yang baik, ramah, memberikan saran yang tepat, dan tidak mengeluh walaupun aku terus menerus bertanya tentang buku seperti anak kecil yang pertama kali melihat buku.
Baru sekitar 15 menit aku mengobrol dengan Emma, Tuhan sudah mengabulkan permintaanku yang tadi. Elnathan datang menemui meja kami. Oke, sebenarnya dia menemui Emma karena dia sepertinya tidak memedulikan ada aku di sana, hingga Emma mengenalkan kami. Jujur saja, aku sedikit salah tingkah ketika dia menatapku menyelidik. Dia terlihat semakin tampan dengan mata tajamnya itu dan setelan jas yang melekat pas di badannya.
Elnathan akhirnya ikut makan siang dengan aku dan Emma. Aku senang sekaligus kecewa. Kecewa karena sebenarnya dengan jelas aku melihat ketertarikan Elnathan pada Emma terpancar jelas di matanya. Elnathan bahkan memotong pembicaraanku dengan Emma untuk menarik perhatian Emma.
Pada akhirnya aku mengerti kenapa Elnathan terlihat seperti menyelidikiku. Dia mungkin mengingat sesuatu tentangku dan aku dengan senang hati membantunya mengingat. Elnathan memang sudah seharusnya mengingatku. Aku dan Elnathan juga dengan semangat menceritakan masa kecil kami kepada Emma. Dibanding Elnathan, sebenarnya yang lebih antusias bercerita adalah aku. Aku tidak tahu, hanya saja aku terlalu senang bisa kembali akrab dengan Elnathan. Mungkin juga karena jalan buntu yang aku hadapi untuk bisa dekat dengan Elnathan hingga minta bantuan papa, sudah menemukan jalan lebar dan bersinar terang. Dan alasan lainnya, karena di hati kecilku, aku ingin Emma tahu bahwa bukan dia saja yang bisa dekat dengan Elnathan, ada aku yang bahkan sudah menjadi teman dekatnya di masa kecil.
Pesan masuk di ponselku menghentikanku dari menyimak obrolan Emma dan Elnathan yang sedang berdebat tentang film terbaru di bioskop. Pesan dari papa ternyata. Bibirku mengerucut kesal karena pasti isinya adalah perintah papa agar aku segera ke kantor. Papa memang selalu tahu merusak moodku di waktu yang tepat. Aku membaca pesan itu dan bibir yang tadi mengerucut perlahan tersenyum. Papa memang menyuruhku ke kantor untuk ikut meeting, pekerjaan yang selalu dengan pasti aku hindari. Tetapi sepertinya meeting kali ini tidak akan aku lewatkan, karena akan ada Elnathan di sana.
"Guys, aku kayaknya harus pergi duluan. Aku ada kerjaan," kataku untuk menarik perhatian mereka dari perdebatan yang sepertinya tak berujung itu.
"Oh, iya silahkan. Aku juga kayaknya bakalan balik sekarang," itu Emma yang menjawab.
"Kok kamu ikut balik? Kata kamu tadi kamu gak balik ke kantor? Aku masih ada meeting di sekitar sini nanti jam empat dan kamu harus nemenin aku nunggu di sini."
Aku mendengar nada memerintah dari Elnathan.
"Ih, sekarang kan masih jam dua El. Mau ngapain coba di sini sampai jam empat. Aku balik ajalah, mau istirahat."
"Ya kamu temenin aku ngobrol di sini!"
"Kenapa kamu gak balik aja dulu ke kantor?"
Aku memutar bola mataku melihat pertengkaran anak kecil di hadapanku. Aku akhirnya menemukan satu sifat buruk Emma yaitu tidak peka. Aku saja yang hanya pendengar, tahu kalau Elnathan tidak ingin ditinggal Emma dan dia ingin menghabiskan waktu berduaan. Rasa kesal mulai muncul di hatiku. Kenapa Elnathan tidak memperlakukanku seperti dia memperlakukan Emma. Oke, kami memang baru bertemu. Tetapi dia kan sudah ingat kalau aku teman "akrab" nya di masa kecil. Seharusnya dia menawarkan untuk mengantarku seperti laki-laki lain lakukan padaku, bukan malah menahan Emma untuk menemaninya.
"Jadi, aku bisa pergi sekarang?" kataku untuk menghentikan perdebatan mereka.
"Iya, Alin, silahkan. Hati-hati di jalan," jawab Elnathan diikuti anggukan dan senyum dari Emma. Hanya itu. Ugh, aku ingin sekali memberitahu Elnathan bahwa meeting yang dia hadiri nanti sore itu adalah meeting denganku, siapa tahu dia juga akan bersikeras untuk mengajakku pergi bersama. Tetapi, tidak. Lebih baik itu jadi kejutan nanti sore untuknya.
Sepanjang perjalanan ke kantor, pikiranku kembali dipenuhi oleh Elnathan dan juga Emma. Aku bisa melihat interaksi nyaman antara mereka berdua dan juga rasa tertarik. Tetapi, sepanjang obrolan aku bisa menangkap bahwa mereka sudah terjebak friend-zone. Entah siapa di antara mereka berdua yang takut mengakui perasaan mereka. Atau mungkin keduanya sama-sama takut.
Aku menghembuskan napas keras. Mungkin usahaku menarik perhatian Elnathan akan sangat sulit karena jelas ada Emma perempuan yang dia suka di sampingnya. Satu bagian diriku mulai berpikir untuk menyerah saja. Tetapi bagian lain berteriak tidak. Ya, mungkin aku tidak harus menyerah sekarang. Masih banyak jalan yang bisa kutempuh. Lagipula, Elnathan dan Emma belum resmi menjadi sepasang kekasih. Jadi aku tidak akan merasa sedang merebut orang lain. Aku hanya perlu sering-sering berada di sekitar Elnathan, termasuk berusaha masuk ke lingkar pertemanan mereka. Ya, aku hanya perlu berusaha lebih keras.
***
Tepat seperti dugaanku, Elnathan terkejut melihatku mendampingi papa di meeting kali ini, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya tersenyum singkat. Sepanjang meeting aku tidak konsentrasi, tentu saja. Wajah Elnathan yang sedang berbicara di hadapanku terlalu menarik perhatian dan membuatku melamunkan banyak hal tentang aku dan dia.
Senggolan kecil dari papa membuatku tersentak. Aku melotot kepada papa dan papa melirik ke arah Elnathan. Aku tersenyum salah tingkah ketika menemukan seluruh peserta meeting termasuk Elnathan sedang memandangiku.
"Mungkin ada yang ingin ditanyakan, Alin?" tanyanya.
"Eh, tidak..tidak, tidak ada pertanyaan dari saya." Bagaimana mungkin aku bisa bertanya kalau sama sekali tidak mengikuti presentasi dari Elnathan. Elnathan hanya mengangguk kecil dan aku melirik papa yang sekarang sudah gantian memelototiku.
Selesai meeting aku bergegas keluar, tidak mengacuhkan papa yang memanggilku dan menyusul Elnathan yang sudah berada di dekat lift.
"El..." panggilku untuk menghentikan dia yang sedang menekan tombol lift. Dia menoleh dan menunggu hingga aku berhenti di sampingnya.
"Mau ngopi bareng?" tawarku.
Elnathan tampak berpikir dan sebelum dia menolak aku buru-buru melanjutkan,
"Tadi obrolan kita masih singkat banget, dan kamu utang banyak cerita loh ke aku kemana kamu selama ini. Aku juga butuh bantuan kamu untuk beberapa hal."
"Bantuan untuk?" tanyanya. Satu alisnya naik, gerakan yang bila aku perhatikan selalu dia lakukan ketika bertanya penasaran sekaligus bingung.
"Nanti aku ceritain. Jadi...ngopi bareng?" ulangku lagi.
Elnathan akhirnya mengangguk dan aku tersenyum puas. Hari ini memang hari Senin pertama dalam hidupku yang terasa sangat menyenangkan.
Thankyou for reading 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~