Sepanjang malam aku memaksa otakku yang cantik ini untuk berpikir keras dan memunculkan memori tentang Elnathan Januardi sewaktu kami kanak-kanak. Sulit sekali. Ini otakku memang sudah terlalu beku atau bagaimana sih. Di sela-sela usahaku mengingat, aku mengecek akun media sosial sejuta umat, Instagram dan hasilnya nihil. Aku bahkan rela menginstal ulang Facebook untuk mendukung kegiatan stalking ku dan tentu saja tidak ada hasilnya. Harapan terakhirku adalah LinkedIn dan berharap besar akan menemukannya di sana. Biasanya seorang yang profesional dan pemimpin perusahaan seperti Elnathan pasti memiliki akun disana. Kecuali, kalau dia bukan manusia pada umumnya.
Gotcha, aku menemukannya. Ternyata dia memang masih manusia biasa. Tetapi setiap manusia pasti tidak pernah lepas dari yang namanya kekecewaan. Aku menggerutu kecil melihat akun itu sudah tidak pernah diperbaharui sejak setahun yang lalu. Informasi yang ada hanya pendidikan kuliah dan tempat dia bekerja yaitu kantornya sekarang. Oh, dia lulusan luar negeri ternyata, dan wow, kampusnya ternyata Ivi League. Lumayan juga. Salah, sangat lumayan. Papa pasti senang kalau tahu aku sedang berusaha mendekati menantu potensial seperti Elnathan. Ganteng, pinter, dan yang pasti satu strata sosial denganku. Apalagi aku bisa mendapatkannya, sudah bisa dipastikan papa akan sangat bangga padaku. Selama ini papa selalu mengeluh melihat pacar-pacarku yang selalu di bawah standar. Aku juga sebenarnya sadar itu, tapi aku senang sekali melihat papa kesal. Anggap saja itu balasan karena papa memaksaku bekerja di kantornya.
Apabila Elnathan berhasil jadi pacarku dan bahkan jadi suamiku, dengan senang hati aku akan menyerahkan perusahaan papa kepadanya. Aku bisa melanjutkan cita-citaku dan perusahaan berada di tangan yang tepat. Aku terkikik geli. Ide ini sepertnya sangat bagus.
Setelah melihat akun minim informasi itu, aku membuka profil kantor Elnathan dan aku tersenyum melihat salah satu profil pekerja di sana. Andreas Winata. Aku mengenalnya. Dulu dia adalah mantan calon gebetanku sewaktu tahun terakhir kuliah. Aku berpindah ke Instagram dan mencari akun Andreas. Sepertinya keberuntungan mulai berpihak padaku karena akun Andreas sangat mudah ditemukan. Aku langsung melancarkan aksiku menuju rencana paling mutakhir yang ada di pikiranku.
***
Hari ini aku sengaja bolos jam kantor untuk makan siang lebih cepat. Aku harus bisa segera sampai ke Januardi Tower. Semalam aku berhasil mengajak Andreas untuk makan siang bersama dengan alasan mengenang kuliah dulu dan Andreas langsung setuju. Sudah kubilang mendekati pria bukan hal yang sulit untukku dan aku yakin ini akan berlaku pada Elnathan juga.
Aku sampai di gedung milik Elnathan tepat saat jam makan siang. Aku melihat lobi sudah mulai ramai dan keberuntungan lain muncul kembali. Ada Elnathan sedang duduk di sofa tunggu lobi. Aku melangkahkan kaki ke arahnya dan duduk tepat di single sofa di dekatnya. Tetapi Elnathan masih sibuk dengan ponselnya.
Aku mengernyit. Sial, sudah dua kali dia mengacuhkan dan lebih memilih melihat ponselnya. Aku berdehem kecil berharap akan mampu menarik atensinya. Dan gagal. Aku berdecak. Ada apa sih El dengan ponselnya itu. Apa sih yang sedang dia lihat, sehingga benar-benar tidak peduli dengan sekelilingnya. Dan Andreas juga tak kunjung muncul membuat kesalku makin bertambah.
Setelah beberapa saat duduk dan sepenuhnya diabaikan oleh Elnathan, aku akhirnya melihat dia berdiri dan melihat ke arah lift yang terbuka. Andreas juga ada di lift yang sama dan tersenyum melihatku, tetapi fokusku hanya kepada perempuan yang menemui Elnathan.
'Aku udah nunggu kamu setengah jam lebih loh, Em. Aku udah kelaparan dan gak sanggup lagi nyetir. Jadi kita makan di kafe sebelah aja ya?' Aku mendengar Elnathan berkata dengan nada hangat dan menarik tangan perempuan itu. Em? Siapa dia? Mungkin sekretarisnya? Tetapi penampilannya tidak terlihat seperti sekretaris. Pacarnya? Ah, tidak mungkin. Kriteria pacar Elnathan harusnya lebih cantik dari perempuan itu. Dia cukup manis memang tetapi dia terlalu sederhana untuk seorang Elnathan Januardi.
"Alin, kamu lagi mikirin apa?" Aku menoleh ke samping dan melihat Andreas yang menatapku dengan raut heran. Astaga, tanpa sadar aku sudah melamun dan mengabaikan Andreas partner makan siangku hari ini.
"Dre, kamu mau makan ke kafe di sebelah kantor ini gak?" Aku harus tahu apa hubungan Elnathan dengan perempuan tadi. Aku tidak ingin mundur sekarang dan kalah sebelum bertarung.
"Kamu yakin? Biasanya jam makan siang gini itu pasti rame banget sih," jawab Andreas.
"Gak apa-apa Dre, kesana aja yuk. Aku udah laper banget." Aku melangkahkan kakiku dan segera disusul Andreas. Aku harus bisa duduk di meja yang dekat dengan mereka.
Aku berhasil mendapat meja yang dekat dengan mereka. Tidak bersebelahan tetapi aku bisa cukup leluasa melihat gerak-gerik mereka. Sepanjang makan siang aku juga hampir tidak melihat gerak gerik yang aneh kecuali perempuan itu yang makan sangat cepat hingga hampir tersedak dan segera ditawarkan minuman oleh Elnathan. Mereka tidak terlihat seperti sepasang kekasih, tetapi lebih seperti teman. Teman yang sangat akrab dan dekat.
Perempuan itu sudah selesai makan dan masih menunggu Elnathan yang terlihat sangat santai menghabiskan makanannya. Aku melihat mereka mengobrol dan kemudian perempuan itu kembali tersedak minumannya sendiri. Astaga, kenapa dia tidak anggun sekali. Elnathan hanya tertawa dan kemudian kembali makan sambil mengobrol. Aku penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.
"Alin, kamu bakalan biarin makanan kamu gak tersentuh?" Aku terkejut mendengar suara Andreas dan memasang tawa palsu. Aku terlalu sibuk memandangi sepasang manusia di sebelah sana dan lagi-lagi lupa ada Andreas yang sedang makan di depanku.
"Kamu suka sama pak Elnathan ya? Wajar sih, dia memang calon paling high quality dan paling potensial untuk semua kalangan wanita. Dari ibu-ibu arisan yang pengen dia jadi calon mantu sampai anak-anak SD yang udah tahu mana yang tampan dan mana yang bukan. Kamu dari awal kita nyampe gak pernah berhenti lihat ke meja dia," terang Andreas tanpa kuminta.
Aku tergagap dan sekarang tertawa salah tingkah. Sial, sepertinya memang aku terlalu terang-terangan memandangi mereka.
"Jadi kamu sengaja ngajak aku makan siang Cuma biar bisa lihat pak El ya, Lin?" kata Andreas lagi. Aku meringis dan perasaan tidak enak pada Andreas perlahan muncul.
"Tapi aku senang bisa ketemu kamu lagi setelah pedekate kita bertahun-tahun yang lalu terhenti tanpa alasan yang jelas." Andreas tertawa kecil dan aku tersenyum kecut. Dulu aku memang benar-benar suka pada Andreas tetapi seperti biasa aku tidak akan pernah mau menyatakan perasaanku terlebih dahulu pada laki-laki manapun. Seperti yang Andreas katakan pedekate kami terhenti begitu saja tanpa sadar. Mungkin pada saat itu kami sudah mulai bosan satu sama lain.
Makan siang yang aneh itu akhirnya selesai. Aku dan Andreas berjalan kembali ke kantornya karena mobilku aku tinggalkan di sana.
"Perempuan yang tadi makan sama pak El itu namanya Emma. Dia teman kerja sahabatku. Dia kerja di Words sebagai editor. Itu aja yang bisa aku kasih tau kamu karena kamu kelihatannya penasaran banget sama mereka. Sebenarnya aku juga terkejut melihat mereka tiba-tiba makan siang berdua. Selama ini gak pernah ada desas-desus kalau mereka lagi dekat."Aku membelalakkan mataku mendengar ucapan Andreas dan kemudian tersenyum lebar. Makan siang yang aku rencanakan ini memang tidak berakhir sia-sia.
***
Malamnya, aku menghabiskan waktuku dengan stalking semua sosial media Emma. Tidak seperti Elnathan, Emma memiliki akun di semua media sosial. Mungkin karena pekerjaannya sebagai editor sehingga dia harus bisa tetap berkomunikasi dengan para penulis. Tidak banyak update terbaru di akun Emma. Di akun Instagramnya aku juga tidak menemukan fotonya bersama dengan Elnathan. Penasaranku semakin menjadi-jadi. Ada hubungan apa mereka berdua dan siapa Emma yang berhasil membuat seorang Elnathan yang jelas-jelas mengabaikan aku, bisa tersenyum dan berbicara akrab dengan dia?
Thank you for reading 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~