Elnathan- The Best for Now

2.8K 269 2
                                    

Rameinnnnn!!!! Komen yg banyak biar aku post bab selanjutnya hehe

Sudah dua minggu sejak aku memutuskan untuk berhenti mendekati Emma. Dua minggu yang sangat sulit karena aku mati-matian menahan diriku untuk meneleponnya terlebih dahulu. Tidak ada yang berubah dengan perasaanku kepadanya. Aku menghindari makan di luar kantor karena takut bertemu dengan Emma. Aku memang mengatakan kami tetap menjadi teman, tetapi entahlah rasanya bertemu dengan Emma sangat menyebalkan mengingat aku tidak akan pernah bisa memilikinya. Keegoisanku sebagai laki-laki masih belum menerima bahwa Emma berusaha mendorongku menjauh karena alasan yang tidak masuk akal.

Mama sendiri langsung menghubungi Emma ketika mengetahui mengenai pertengkaran kami. Mama merasa turut andil dalam kandasnya hubungan yang bahkan belum dimulai antara aku dan Emma. Padahal mama tidak salah apapun. Keluarga besarku memang memiliki peran tetapi inti permasalahannya bukan itu. Aku perlu waktu untuk meyakinkan hatiku bahwa aku benar-benar mencintai Emma dan aku yakin juga Emma perlu waktu untuk mengenal dirinya sendiri.

Ketika sedang sibuk mempersiapkan diri untuk meeting nanti sore, sekretarisku memberitahu bahwa ada Alina yang ingin bertemu denganku. Aku mengernyit heran. Kami tidak terlalu banyak berkomunikasi setelah pertemuan kami yang terakhir. Jadi sedikit mengherankan dia tiba-tiba menemuiku.

"Suruh masuk aja, mbak," kataku dan tidak lama kemudian Alina sudah berada di dalam ruanganku.

"Kita ada janji temu yang aku lupain, Lin?" tanyaku setelah mempersilakan duduk. Efek terus-menerus memikirkan Emma memang membuatku beberapa kali melupakan janji temu dengan orang lain, yang membuat sekretarisku harus bekerja lebih keras khusus untuk mengingatkanku.

Alina menggeleng. Dia mengeluarkan beberapa dokumen dari tas yang tadi ditentengnya.

"Papa suruh aku buat bawain ini ke kamu. Data final buat proyek Surabaya."

"Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot buat anter langsung, Lin. Kamu bisa suruh staf kamu," jawabku sambil mengambil dokumen-dokumen itu dari tangannya.

"Gak apa-apa, El. Aku memang pengen ketemu. Aku kangen."

Aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak membelalak.

"Lin..kamu gak lagi..?"

Alina tertawa. "No..aku gak lagi godain kamu. Kamu kira aku gak trauma sama penolakan kamu kemarin? Bodoh banget kalau malah maksa kamu lagi. Kamu harus lihat muka kamu tadi pas aku bilang aku kangen, El. Emang seburuk itu ya disukain sama aku?"

Aku menghela napas lega. "Bukan gitu maksud aku, Lin. Aku kaget aja tiba-tiba kamu ngomong kayak begitu. Aku baca dulu dokumennya, ya," kataku agar pembahasan tentang hal yang sudah kuanggap selesai itu tidak dibahas lagi.

Alina mengangguk dan kemudian sibuk memainkan ponselnya sembari aku membaca dokumen yang dia bawa.

"Aku ketemu sama Emma minggu lalu."

Aku langsung mendongak menatap ke arahnya.

"Oh ya?" jawabku datar walaupun dalam hati aku sudah sangat ingin menanyakan kabar Emma kepadanya.

"Yap, yang pasti dia gak lebih baik dari kamu, kalau kamu pengen nanya kabarnya," jawab Alina dengan nada usil. Dari ucapannya aku mengerti bahwa dia sudah mengetahui apa yang terjadi antara aku dan Emma.

Aku hanya mengangguk pelan dan pura-pura sibuk kembali membaca. Sebenarnya aku cukup malu karena Alina bisa menebak yang ingin kutanyakan padanya.

"Kamu kalau mau tanya tentang Emma, bakalan aku jawab kok, El," katanya lagi. Ini Alina sudah berubah profesi jadi pembaca pikiran orang lain atau bagaimana? Dia sekarang menaik-naikkan alisnya dan menampakkan wajah usilnya.

Aku berdehem pelan. Baiklah, karena sepertinya wajahku sudah menunjukkan ekspresi penasaran sehingga Alina bisa menebak pikiranku. Mungkin tidak ada salahnya jika aku bertanya langsung mengenai Emma.

"Gimana dia?" tanyaku dengan nada seolah-olah aku tidak sepenasaran itu.

"Bukannya aku udah bilang tadi kalau dia gak lebih baik dari kamu. Kamu kelihatan kacau dan dia juga. Tunggu, kamu berarti gak ada hubungin dia selama dua minggu ini, El?"

Aku mengangguk dan Alina langsung melayangkan tatapan menghakiminya kepadaku.

"Emma butuh waktu, Lin," kataku membela diri.

"Hmmm...iya sih. Dia memang butuh waktu. Menurut yang Emma bilang ke aku kemarin, minggu ini sih harusnya dia udah mulai konsultasi sama temen aku."

"Konsultasi apa? Dia gak sakit kan?" Sepertinya aku terlalu kentara menunjukkan nada khawatirku karena sekarang Alina sudah kembali tertawa usil.

"Kenapa kamu gak telepon dia aja langsung?" usulnya.

"Dia kayaknya gak bakalan mau angkat telepon aku, Lin. Setiap kami ada masalah pasti dia menghilang. Jadi daripada aku malah makin merasa kesal, mungkin nanti di saat yang tepat aku bakalan hubungi dia."

"Dia konsultasi ke psikolog."

Tunggu, ini aku tidak salah dengar kan? Kenapa Emma harus berkonsultasi dengan psikolog? Dia tidak depresi karena permasalahan kami kan?

"Kamu tenang aja, El. Ini gak semengerikan yang kamu bayangkan. Emma baik-baik aja, cuma dia sendiri memang pengen konsul ke sana."

"Tapi apa memang harus ke psikolog? Dia kan baik-baik aja, Lin? Dia kan bukan lagi sakit, dia cuma bermasalah sama mindernya aja."

"El, ke psikolog itu bukan hanya karena gangguan mental yang berat loh. Hal yang menurut kamu kecil kayaknya minder juga perlu konsultasi. Kamu tau kan perasaan mindernya Emma itu sudah kronis dan bahkan lebih terlihat dia sedang rendah diri. Dia butuh bantuan dari orang lain yang lebih profesional biar dia tahu kalau dia gak selayak yang dia bayangkan."

Penjelasan Alina membuatku lebih tenang sedikit.

"Menurut kamu apa aku perlu buat nemenin dia, Lin?" tanyaku pelan. Aku sebenarnya senang karena Emma memutuskan untuk mengatasi mindernya dengan bantuan profesional. Ada keinginan untuk mendampinginya melewati masa-masa ini.

"Kalau aku bisa kasih saran mungkin kamu pantau dia dari jauh aja. Emma mungkin belum siap buat ketemu kamu dan kalau dipaksakan aku takut bakalan ngeganggu proses konsultasi dia."

Aku mengerti maksud Alina. Aku adalah salah satu sumber terbesar mindernya dan menemui dia saat ini sama aku aku men-trigger ketakutannya dan bisa jadi membuatnya semakin menjauh.

"Kamu berarti rutin komunikasi sama dia, Lin?" tanyaku.

"Iya. Kalau kamu mau, aku bakalan ngasih tau kamu perkembangan Emma."

Aku memberikan senyum tulus kepada Alina. Aku tidak menyangka kalau dia sebaik ini dan menjadi penghubung antara aku dan Emma. Padahal, secara tidak langsung aku sudah menyakiti hatinya.

"Lin, terimakasih. Dan maaf buat kejadian sebelumnya," kataku tulus.

"Ya ampun, El. Kita udah berdamai kemarin, okay? Kamu gak usah ngerasa gak enakan sama aku. Kamu dan Emma udah baik sama aku dan aku senang jadi teman kalian. Teman harus membantu sesama teman, kan?" jawabnya sambil beranjak, bersiap pulang. Aku mengantarkan Alina sampai ke lift dan mengucapkan terimakasih lagi untuk bantuan yang dia tawarkan.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang