Aku berbalik menatap mama yang sejak subuh tadi terus bertanya kenapa aku tiba-tiba mau ke dapur dan juga memaksa mama mengajariku memasak. Tadi malam secara mendadak aku pulang dan menginap di sini, setelah muncul ide untuk memberikan kejutan pada Elnathan.
"Ma, ini misi aku biar mama bisa dapetin menantu potensial," kataku sambil tersenyum pongah.
"Iya, kamu udah bilang itu berkali-kali. Tapi siapa?"
"Aku udah pernah bilang loh sama mama,"
Tiba-tiba mama terkesiap, mungkin karena dia sudah mengingat sesuatu.
"Dek, jangan bilang kamu mati-matian masak dari subuh buat ngasih ke Elnathan?"
Aku tersenyum dan mengangguk membenarkan ucapan mama.
"Kamu serius, dek? Mama kira yang kemarin kamu cuma bercanda."
"Kok mama bisa ngira aku bercanda sih?" jawabku jengkel.
"Soalnya kamu kemarin itu kan sanggupin permintaan papa buat makin aktif di kantor. Itu kan mama kayak denger keajaiban dunia yang baru gituloh. Kamu kan dari dulu ngelawan terus kalau disinggung masalah kantor," jelas mama.
Bibirku mengerucut. Bahkan sebenarnya sampai sekarang aku masih suka pusing kalau diingatkan masalah pekerjaanku di kantor. Papa benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia tidak hanya melibatkanku di meeting-meeting yang ada Elnathan, tetapi hampir seluruh meeting. Aku tidak bisa mengelak karena bagaimanapun aku masih membutuhkan bantuan papa untuk mendekatkanku dengan Elnathan.
"Kalau aku bercanda, aku gak bakalan mau, Ma, ke kantor tiap hari, jadi ekornya papa tiap ada meeting, sampe ikut ke luar kota lagi. Sekarang aku hampir nolak semua tawaran pemotretan tau, Ma." Mengingat hal itu aku semakin jengkel saja.
"Tapi kamu jadi bisa ketemu Elnathan kan?"
Senyum kembali terbit di bibirku."Iya dong, Ma. Malah kemarin yang ke Surabaya sama papa, aku mau ikut karena ada Elnathan juga dong. Aku seneng deh Ma, kalau bisa deket sama dia terus," kataku sambil melipat kedua tangan di depan dada. Entahlah, hanya membayangkan wajah kaku dan berwibawa Elnathan ketika memimpin rapat atau memberikan instruksi kepada bawahannya saja sudah membuatku senang. Aku benar-benar sudah tergila-gila pada dia.
"Dek, kamu benar-benar yakin sama Elnathan? Mama baru kali ini lihat kamu gini banget sama laki-laki. Sampe berani ngabaiin hal yang paling kamu suka loh ini," jawab mama.
Aku hanya mengangguk saja. Perasaan penasaran di awal-awal sudah berganti menjadi rasa suka yang dalam kepada Elnathan. Kenangan masa kecil di saat-saat dia menjadi pelindungku, menambah keyakinanku bahwa dia juga akan menjadi pelindungku hingga tua nanti. Mama benar, baru pertama kali ini aku melakukan hal seperti ini. Sampai menolak pemotretan-pemotretan atau fashion show yang harusnya bisa mendukung karirku sebagai model. Bahkan dengan beraninya aku meminta Elnathan untuk memberikan bimbingan khusus untukku. Elnathan yang terlihat kaku di luar namun baik hati itu juga tidak menolak permintaanku. Dia dengan sabar mengajariku yang kemampuan belajarnya benar-benar miris. Dia bahkan tidak pernah mengatakan terganggu dengan kehadiran mendadakku di kantornya atau ajakan ngopi setelah meeting yang kami hadiri bersama dengan alibi minta diajari. Perkataan Elnathan di awal memang benar. Sebenarnya lebih mudah apabila aku diajari papa. Namun, jika ada kesempatan yang membuatku bisa sering berdekatan dengan Elnathan, kenapa aku harus membuang kesempatan itu.
"Dek, mama gak larang kamu kalau kamu memang benar-benar suka sama Elnathan. Tapi mama harap kamu jangan sampe irasional ya. Jangan sampai kamu menjatuhkan harga diri kamu hanya karena laki-laki." Raut wajah mama terlihat sangat serius ketika mengatakan itu.
"Ma, aku kan cuma pengen masakin dia dan ketemu sama orangtuanya, ma. Kan dulu sampe sekarang keluarga kita saling kenal. Kok mama bilang aku irasional sih?" tukasku pada mama. Menurutku hal yang kulakukan ini masih wajar,kan. Ini hanya bentuk usahaku menarik perhatian Elnathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~