Aku kira hari ini akan berjalan sempurna. Aku berdamai dengan Elnathan dan Elnathan berdamai dengan Alina, tetapi kemudian tepat di penghujung hari Elnathan mengajukan pertanyaan yang membuatku kembali terusik. Aku tahu sekarang aku semakin terlihat seperti perempuan menyebalkan yang tidak tahu bersyukur ada Elnathan di dekatku. Aku menyadari bahwa perasaan minder di dalam diriku tidak sepenuhnya hilang dan itulah alasan aku tidak segera menjawabnya tadi. Aku tidak merasa siap membayangkan ending di depan sana. Aku terlalu ketakutan dan sampai sekarang rasa saling tertarik kami yang dibungkus persahabatan adalah posisi amanku. Setidaknya dengan label teman, aku tidak merasa wajib berbaur dengan teman-temannya, keluarganya, atau harus mempublikasikan hubungan kami ke orang lain. Aku tidak siap. Tidak untuk saat ini.
Ketika aku bertemu dengan mamanya Elnathan beberapa waktu yang lalu, aku sebenarnya merasa sedikit ringan dan mulai percaya diri, tetapi beberapa waktu kemudian aku mulai kembali meragukan diriku. Ada bagian diriku yang takut Elnathan tidak akan bertahan menungguku yang entah kapan akan siap.
Tidak ada pembahasan mengenai hal itu di antara kami selama dua hari ini dan aku sudah hampir tidak memikirkannya, sebelum tante Andari menghubungiku. Tante Andari mengundangku ke acara ulang tahun papa Elnathan di akhir pekan ini. Aku panik, tentu saja. Sudah bisa dibayangkan bahwa acara itu akan dipenuhi dengan keluarga besar Elnathan. Aku tidak kuasa menolak karena tante Andari yang memintaku secara langsung. Kalau itu Elnathan, mungkin aku akan mengusahakan berbagai cara untuk menolaknya.
'Kamu harus datang ya, Em. Papanya Elnathan penasaran sekali dengan kamu. Gak perlu repot-repot bawa kado, yang penting kamu hadir saja sudah cukup.'
Begitu kata tante Andari tadi dengan nada yang tidak ingin dibantah. Sekarang aku bisa mengetahui darimana sikap Elnathan yang sering tidak ingin dibantah itu muncul. Meski kadang aku masih bisa berkelit dari Elnathan, tetapi tidak dengan tante Andari. Ada rasa segan yang seketika muncul ketika mendengar suaranya. Meskipun sebenarnya nada ketika mengucapkannya terdengar lembut.
Selain itu, setelah aku pertimbangkan, mungkin aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk melatih menghilangkan rasa minderku. Jika tante Andari bisa menerimaku, mungkin keluarga yang lain juga begitu. Dan semoga setelah ini aku bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Elnathan dan kemudian akan berani untuk menjalin hubungan sebagai kekasih dengannya.
***
Akhir pekan tinggal dua hari lagi dan aku belum menemukan kado apa yang pantas untuk kubawa ke sana. Tidak mungkin aku benar-benar mengikuti tante Andari untuk tidak membawa apa-apa.
"Papa kamu suka apa, El?" tanyaku sambil mengapit telepon di antara telinga dan bahuku sambil melihat kemeja yang kira-kira pantas dijadikan kado.
"Papa gak minta kado apa-apa, Em. Dia hanya minta dibawakan menantu aja. Dan aku udah berhasil bisa bawa nanti. Kamu gak usah pusing," jawab Elnathan dengan nada jenaka. Aku berdecak kesal. Sejak mengetahui bahwa mamanya mengundangku secara khusus, Elnathan tidak henti-hentinya mengolokku dengan mengatakan bahwa orangtuanya sudah ngebet ingin menjadikanku menantu.
"El..aku serius. Kamu beneran gak mau bantu aku ini? Aku udah capek muter-muter mall dari tadi dan belum nemu apa-apa."
Elnathan malah semakin tertawa. Tawanya baru berhenti setelah aku mengancam akan mematikan sambungan telepon.
"Aku susul kamu aja ke sana ya. Kita cari bareng-bareng. Aku yakin juga kamu bakalan dimarahin orangtua aku karena ngotot bawa kado," jawabnya.
"Elll....." rengekku kesal dan akhirnya benar-benar mematikan telepon.
Tidak sampai satu jam kemudian Elnathan sudah berhasil menyusulku ketika aku sudah berpindah ke toko buku. Aku menghembuskan napas lega, setidaknya dia masih berniat membantuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~