"Elnathan, kamu kembali ke Jakarta sore ini juga?"
Aku yang sedang mengecek jam keberangkatan pesawatku segera menoleh kepada Om Eka, ayah Alina. Alina juga turut memperhatikanku setelah mendengar pertanyaan ayahnya. Aku menggeleng.
"Enggak, om. Saya masih ada urusan lain. Mungkin Minggu baru kembali ke Jakarta"
Kami memang berada di Surabaya melakukan final checking hotel yang rencananya akan diresmikan bulan depan. Seharusnya aku ikut bersama dengan mereka kembali ke Jakarta sore ini. Tetapi, setelah dua hari yang lalu Emma memberitahu bahwa dia akan kembali mendampingi penulisnya meet & greet di Bali, ide baru terlintas di pikiranku. Aku akan menyusulnya dan melakukan short holiday bersama dengan Emma. Emma belum tahu itu dan dia sebenarnya akan kembali ke Jakarta besok pagi. Aku ingin memberikan kejutan padanya dengan kemunculanku mala mini di Bali dan akan membujuknya untuk membatalkan penerbangannya besok pagi.
"Kamu mau kemana lagi El?" itu Alina yang bertanya.
"Ada kerjaan bareng temen di Bali. Jadi aku mau nyusul kesana malam ini."
Alina menatapku curiga tetapi tidak mengatakan sesuatu. Sejujurnya, di dalam hati muncul rasa takut Alina akan minta ikut bersamaku. Alina akhir-akhir ini semakin sering saja rasanya muncul di sekitarku. Bahkan ke Surabaya ini awalnya dia tidak ikut karena menurut ayahnya pekerjaan di kantor membutuhkan dia. Tetapi entah bagaimana dia tiba-tiba muncul di bandara dan akhirnya ikut bersama kami. Alina adalah perempuan yang baik dan menyenangkan. Tetapi, sulit membedakan apakah perhatian dan kehadirannya di sekitarku karena memang sekedar untuk pertemanan atau lebih dari itu. Jika dia memikirkan hal yang lebih dari pertemanan, mungkin aku akan menyakiti hatinya. Bagaimanapun untuk saat ini dan sampai waktu yang belum bisa aku tentukan perhatian dan hatiku telah terenggut seluruhnya oleh Emma.
Di Bali nanti aku ingin segera memperjelas hubunganku dengan Emma. Berperan sebagai temannya sangat melelahkan karena aku tidak ingin menjadi temannya terus menerus. Aku ingin Emma segera bisa aku perkenalkan kepada papa dan mama sebagai pasanganku. Juga sebagai pembuktian kepada mereka bahwa aku dan Alina murni hanya berteman. Kedatangan Alina secara mendadak minggu lalu membuat mama tidak percaya bahwa kami hanya teman. Hal ini juga yang membuatku masih merasa kesal dengan Alina tetapi tidak mampu menunjukkannya.
***
Aku menanti dengan sabar Emma mengangkat teleponku. Masih jam sembilan malam waktu Indonesia tengah dan tidak mungkin Emma sudah tidur. Dia punya gangguan tidur dan seringkali baru bisa tidur di atas jam satu malam. Setelah percobaan menelepon kelima kali, akhirnya dia menjawab.
'Halo, El. Ada apa?'
Aku tersneyum kecil mendengar suara Emma. Kami belum pernah bertatap muka dua bulan belakangan dan hanya sering mengirimkan pesan, bukan telepon seperti ini. Ternyata aku merindukan suaranya yang lembut itu.
'Kamu dimana?'
"Aku di hotel, kenapa?' Aku bisa membayangkan dia sedang mengerutkan kening seperti yang biasa dia lakukan.
'Aku di lobi hotel kamu. Aku tungguin kamu di sini ya'
"What? El....tunggu..maksud kamu di hotel mana? Aku di Bali loh ini, kamu bukannya di Surabaya?'
'Iya aku di lobi hotel kamu, di B-A-L-I,' aku menekankan kata Bali untuk menyakinkan Emma.
'Kamu kok bisa disini sih?'
"Bisalah..selagi yang namanya pesawat masih beroperasi. Buruan turun sini'
'El..tunggu, kamu..'
Aku segera mematikan telepon sebelum Emma bertanya lagi. Dengan begini dia pasti segera turun. Benar saja, tidak sampai lima belas menit setelah telepon kami dia sudah di lobi dan celingukan mungkin mencariku. Aku tertawa melihat penampilannya. Hanya menggunkan kaos dan celana training dan cardigan warna peach tipis. Mungkin dia sudah bersiap untuk istirahat tadi. Aku berjalan dan menepuk pundaknya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~