Emma- Everything has Changed

2.8K 260 1
                                    

Seperti ada yang menusuk ulu hatiku ketika Elnathan mengatakan dia sudah lelah. Elnathan benar. Aku terlalu sibuk memikirkan ketakutanku sendiri tanpa memikirkan Elnathan juga merasakan hal yang sama. Sekarang sepertinya sudah terlambat. Elnathan sudah mengatakan dia mundur dan aku tidak punya nyali untuk membujuknya. Aku tidak berbohong ketika aku mengakui bahwa aku juga mencintainya. Tetapi aku juga tidak bisa mengingkari bahwa rasa minder dan ketakutanku juga mempengaruhi sikapku padanya. Aku takut terlalu terlena dan akhirnya menjadi tidak siap ketika patah hati. Dan ternyata ketakutanku yang memunculkan sifat defensifku malah membuat kekacauan baru. Pada akhirnya aku tetap patah hati karena Elnathan sudah menyerah.

Setelah makan siang yang kami lewati dalam diam, Elnathan menawarkan untuk mengantarkanku kembali ke kantor. Ketika aku bersiap menolak karena tidak ingin merepotkannya, Elnathan terlebih dahulu menyela ucapanku.

"Kalau kamu berencana menolak tawaranku karena takut dengan gosip yang akan menyebar, kamu tenang aja. Nanti aku bakalan temuin teman-teman kamu yang lihat kita tadi dan jelasin ke mereka kalau kita hanya sekedar berteman dan juga ke orang-orang lain yang menurut kamu ngomongin kamu di belakang."

Aku terhenyak dan seketika ingin kembali menangis. Ada rasa tidak terima mendengarkan kalimat sekedar berteman dari Elnathan. Hatiku yang tadi sudah patah kini hancur berkeping-keping.
Setibanya di gedung kantor kami, Elnathan sepertinya tidak berniat untuk kembali bekerja karena dia memilih menurunkanku di lobi bukan di parkiran. Lobi masih ramai namun untuk saat ini aku tidak ingin memedulikan apapun anggapan orang nantinya ketika melihatku turun dari mobil Elnathan.

"El..kita masih bisa berteman setelah ini kan?" tanyaku pelan sebelum turun.

Elnathan menampilkan senyum yang berkali-kali berhasil membuatku jatuh hati itu. "Kamu tenang aja, Em. Kamu salah satu teman terbaik dan yang paling sabar hadapin aku. Mungkin kita memang gak cocok sebagai pasangan tapi aku yakin kita cocok sebagai teman. Tetapi aku gak bisa jamin bakalan bisa sedekat kemarin-kemarin. Gimanapun aku masih cinta sama kamu, Em dan aku gak yakin bisa nahan diri untuk gak maksa kamu kalau kita masih terlalu akrab."

Aku mengangguk dan bisa kurasakan air mataku sudah menetes.

"Maaf," kataku di sela-sela tangisku.

Elnathan mengacak pelan rambutku. "Kamu gak perlu minta maaf, Em. Gak ada yang salah di sini. Kita hanya baru aja memutuskan yang terbaik buat kita. Kamu turun sana, karena udah banyak mobil antri di belakang mau drop penumpang," katanya sambil menghapus air mata di pipiku.

Aku segera turun dan berjalan cepat masuk ke lobi kantor. Aku tidak memiliki keberanian untuk sekedar menoleh kepadanya meskipun bisa jadi ini terakhir kali dia bisa mengantarku ke kantor.

***

Sudah seminggu sejak pertemuanku dengan Elnathan. Dia benar-benar membuktikan ucapannya untuk tidak terlalu akrab denganku. Tidak ada lagi pesan-pesan tidak penting darinya dan juga telepon minimal sekali dalam sehari. Tante Andari sempat menghubungi untuk meminta maaf atas kejadian di rumahnya beberapa waktu lalu dan ini makin membuatku semakin merasa bersalah.

Aku seperti tidak hidup. Pekerjaannku banyak yang menumpuk karena aku tidak fokus bekerja. Pikiranku sekarang penuh dengan penyesalan dan perasaan tidak terima dengan keadaan yang kuhadapi sekarang. Terlalu banyak pengandaian yang aku bayangkan dan berakhir dengan aku menangis tersedu-sedu.

Sore ini aku memutuskan untuk mampir ke mal yang tidak pernah aku kunjungi bersama Elnathan. Aku butuh beberapa buku baru yang semoga bisa mengalihkan pikiranku. Sedang asyik membaca sinopsis sebuah novel, aku merasakan seseorang menepuk bahuku dari belakang dan membuatku segera berbalik.

Camaraderie [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang