"Kamu yakin bakalan bisa jaga Andrew hari ini?"
Pertanyaan Emma membuatku menghentikan kegiatan mengancingkan kemejaku dan tersenyum kepadanya yang saat ini sedang menatapku dari cermin dan menanti jawabanku.
Aku kemudian melangkah mendekatinya dan memijat pelan kepalanya, sekedar menenangkan dia dari ketidakpercayaannya kepadaku untuk menjaga anaknya. Anak kami berdua, maksudku.
"Relax, babe. Kamu udah nanya itu lebih dari dua puluh kali loh dari kemarin."
Emma mengerucutkan bibirnya dan membuatku semakin gemas. Karena yakin aku akan dimarahi bila merusak lipstick di bibirnya, jadi aku memilih mengusap perutnya yang mulai membuncit. Di dalam sana ada buah hati kami yang sedang berkembang dan siap memperamai pasukanku untuk merecoki hidup Emma seumur hidup.
"Ya...aku kan harus yakin kalau dia gak bakalan ganggu kerjaan kamu dan dia aman ditinggal sampai makan siang sama kamu."
Aku tergelak. "Aku harusnya tersinggung loh karena kamu ngeraguin keamanan Andrew bareng aku."
"Bukan ngeraguin tapi mengingat kejadian-kejadian aneh waktu Andre ditinggal berdua sama kamu bikin aku rada gimana gitu, tau enggak?"
"Kejadian yang mana sih?"
"Dua minggu lalu ada tuh ya bapak-bapak bisa-bisanya lupa kalau anaknya alergi kacang terus malah dijajanin donut pake topping kacang hanya karena anaknya merengek," ucap Emma dengan nada menyindir dan membuatku meringis.
Oke, yang satu itu memang hanya karena aku tidak tega melihat Andrew yang terus-menerus melirik ke salah satu gerai donat dan memintaku membelinya. Saat itu, aku dan Andrew memang sedang berada di mal untuk membeli makanan "ngidam" Emma. Emma yang masih tetap sering mual dan muntah di trimester dua ini, akhirnya batal ikut bersama kami. Aku benar-benar melupakan makanan pantangan Andrew dan Andrew juga tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya -berkat ajaran Emma tentu saja-, Andrew selalu menolak kalau diberikan makanan berbalur kacang. Tapi kali itu, entah karena donat kacang itu benar-benar menarik perhatiannya, dia malah memakannnya dengan lahap dan dua donat langsung habis bahkan sebelum kami tiba di rumah. Aku jadi curiga mungkin sebenarnya Andrew tahu bahwa dia telah melanggar aturan dari mamanya sehingga dia makan dengan cepat.
Tetapi, namanya alergi tidak mungkin bisa ditolak atau ditahan-tahan tidak muncul. Tengah malam saat kami semua tertidur, anakku yang baru berusia 4 tahun itu menjerit karena seluruh badannya gatal dan memerah. Jujur saja sampai sekarang itu membuatku merasa sangat bersalah sekaligus sedih karena mendengar tangisan kesakitan Andrew. Dan Emma dengan tubuh yang masih lemas, susah payah melawan rasa mual dan merawat Andrew dengan sabar dan tentu saja peranku saat itu hanya menuruti apapun yang diucapkan Emma. Menelepon dokter, mengambilkan air minum, dan hal-hal kecil lainnya. Andrew juga saat itu hanya mau dipegang oleh Emma.
Keesokan harinya, setelah keadaan Andrew membaik, aku dan Andrew memeluk Emma dan mengucap maaf kepadanya sambil mengakui kesalahan kami di hari sebelumnya. Emma memaafkan tentu saja, tetapi malamnya ketika Andrew sudah tertidur, dia mengomeliku habis-habisan.
"Kejadian makan makanan berbahan kacang gak akan terulang lagi,"ucapku sungguh-sungguh.
Emma mengangguk. "Oke, aku percaya kamu ya. Tapi, jangan sampai kepala Andrew kejedot lagi," tegasnya. "Benjol yang kemarin aja belum hilang loh."
"Iya, iya," jawabku.
Untuk yang satu itu, lagi-lagi memang kesalahanku. Jadi tiga hari yang lalu, aku dan Andrew bermain di tempat tidur kamarku dan Emma. Sebenarnya menurut Emma, kadang ketika aku menemani Andrew bermain, yang kami lakukan selalu terlalu ekstrem namun tidak kuasa melarang karena Andrew tertawa bahagia. Dan seperti biasa, hari itu aku bermain ala-ala smackdown dengan Andrew. Mengangkat badan Andrew kemudian melemparkannya ke tempat tidur, berguling-guling, dan mengajarinya rolling. Dan itu tidak lama hingga akhirnya Andrew berteriak kesakitan karena kepalanya tidak sengaja terantuk ke salah satu sisi headboard tempat tidur yang berbahan kayu. Emma saat itu tidak marah tetapi hanya memberiku tatapan 'aku juga udah bilang kan kalau jangan main begitu', dan hanya melalui tatapan aku tidak berkutik di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie [COMPLETED]
Romance~Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control~