~Aku selalu berusaha mengukir tawa, tapi kamu dengan mudah memahat luka~
"Arash, makan yuk!" ajakku pada Arash."Kakak laper?"
"Iya, kita lanjut ngobrol sambil makan aja gimana?" Arash mengangguk setuju.
Kita pergi ke salah satu kedai mie ayam yang letaknya jauh dari kawasan. Arash memesankan dua porsi mie ayam beserta teh tawar.
"Kak, yang tadi itu cuma temen kakak?"
"Iya, lebih tepatnya mantan sih, kenapa?"
"Gak apa-apa, mukanya ngeselin. Kakak gak ada niatan buat balikan sama dia, kan?"
Balikan? Bahkan itu sangat jauh dari yang aku bayangkan. Tidak mungkin juga aku balikan dengan Rifat, hubungan pertemanan yang membaik saja sudah cukup. Kalau harus balikan sepertinya butuh pertimbangan yang matang sekali.
"Enggak, Arash. Kita sekarang cuma temenan, dan kayaknya gak mungkin balikan."
"Siapapun laki-laki yang deketin kakak, Arash harus tahu."
"Kenapa?"
"Karena kakak harus dapat restu dari Arash. Arash pastikan hubungan kakak gak akan manjang kalau gak ada restu dari Arash."
"Lah, memangnya Arash siapa?"
"Arash orang ketiga, Arash adiknya kakak yang menyayangi kakak lebih daripada itu, tapi kakak gak pernah balas sayang Arash. Yah, kok endingnya sedih."
Aku genggam erat tangan Arash. Awal ketika aku mengenalnya anak ini memang sangat mudah sekali akrab denganku, aku menyayanginya tulus sebagai adik. Aku bahkan tak bisa marah dengan Arash, aku sempat menghindar ketika Arash mengungkapkan rasa kalau ia menyukaiku. Tapi mau seperti apapun, aku menyayanginya. Anak pintar ini tidak bisa membuatku benci padanya, sekalipun ia membuatku kesal. Contohnya dengan ucapannya barusan, yang buatku gemas dibuatnya. Arash memiliki tempat tersendiri di hidupku.
"Nyebelin!"
"Arash juga mau yang terbaik buat kakak. Arash punya tempat di hidup kakak, kan?" aku mengangguk, "berarti jangan larang Arash kalau Arash nyebelin, ngeselin. Laki-laki yang deketin kakak harus juga orang yang baik. Makanya Arash harus tahu, biar Arash yang kasih restu. Arash itu bucin banget sama kakak."
"Iya deh iya, Arash emang luar biasa keren. Nanti kakak minta restu sama Arash kalau ada laki-laki yang mau sama kakak."
"Padahal Arash juga mau, tapi kakaknya gak mau. Kalau sama Arash kan gak usah minta restu. Arash ridho kakak sama Arash."
Aku usap puncak kepalanya. "Kamu tuh!"
***
Berbagai cara seseorang mengungkapkan perasaan, mencurahkan emosi sampai mengeluh karena lelah. Saat tidak ada manusia yang bisa diajak bercerita, maka sosial media yang menjadi pilihan. Mereka mencurahkan segalanya di sana, baik itu berupa tulisan, foto maupun video.
Aku dan Arash memilih jalan-jalan sebentar ke Mall, Arash mengajakku ke sana sebentar untuk membeli donat yang diminta ibunya. Sambil menunggu Arash aku mencoba buka WhatsApp, melihat beberapa status yang teman-teman share.
Jariku berhenti menscroll, netra ini fokus pada satu postingan. Ya, status milik Sadam.
~Aku selalu berusaha mengukir tawa, tapi kamu dengan mudah memahat luka.~
"Tumben statusnya begini?
~Aku tahu aku salah, terlalu diam sampai merekayasa segala hal. Menyakiti diri sendiri, berdusta dengan hati, bodoh karena drama yang aku sutradarai sendiri.~

KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Teen FictionTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...