Ketika cinta hadir tanpa tapi, maka tak butuh alasan untuk kamu tahu dari mana cinta itu datang.
Saat aku memutuskan untuk menerima Sadam, maka mulai saat itu pula aku mencoba percaya padanya.
"Gak mau turun?" tanya Sadam. Kita sudah sampai rumah ternyata. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
Baru mau membuka pintu mobil, Sadam menahanku. Sadam menatapku, sedikit memajukan wajahnya dekat wajahku. Aku merasakan embusan napasnya yang hangat. "Deg-degan gak aku tatap kamu kayak gini?" tanyanya.
"Enggak!"
"Biasanya deg-degan."
"Enggak!"
"Cinta gak sih kamu sama aku?" aku mengernyit.
"Kepikiran ucapannya Arun?"
"Sedikit, ucapan Arun cukup mempengaruhi isi kepala aku," ungkapnya.
"Mau dengar jawaban apa? Apa selama sebelas bulan kamu masih berpikir kalau aku ragu?" Sadam masih menatapku, begitupun aku sebaliknya. "Yang jelas, aku menyayangi kamu sebanyak buih di lautan."
"Kok lebay," katanya.
"Kamu yang bikin aku lebay," ucapku dengan nada suara yang meninggi.
"Kok marah, makin cinta loh aku sama kamu. Tanggungjawab!" katanya dengan nada suara seperti membentak.
"Tanggungjawab apa? Harusnya aku yang minta kamu tanggungjawab," balasku tak kalah keras.
"Tanggungjawab karena kamu udah bikin aku deg-degan. Lah kamu minta tanggungjawab apa dari aku?"
"Tanggungjawab kamu udah bikin aku hamil."
Sadam semakin memajukan wajahnya, menatapku tanpa ekspresi. Tanganku erat memegang seat belt.
Cup
Tanpa aba-aba, Sadam mengecup bibirku. Kecupan pertama selama aku menikah dengannya. Meski kecupannya hanya sekejap, tapi berhasil membuatku membeku. Aku bingung sendiri dibuatnya.
Sadam tersenyum menatapku. "Kamu hamil juga aku tanggungjawab, kan aku suami kamu, aku selalu berusaha menjadi laki-laki yang baik buat kamu, anak ini adalah bentuk cinta aku sama kamu. Ciuman itu bukti tanggungjawab aku. Gak apa-apa 'kan aku minta hak aku?"
Susah payah aku meneguk salivaku. Aku dorong wajahnya menggunakan telapak tanganku agar menjauh. "Kan gak mesti di sini juga. Kalau ada yang lihat gimana?"
"Gak akan ada," jawabnya cepat.
Tuk tuk tuk
Aku menoleh ke arah samping kiri ku. "Arash?" batinku. Mataku membulat menatap Sadam. Apa Arash menyaksikan hal tadi?
Tuk tuk tuk
Ketuknya lagi ketika aku tak kunjung membuka pintu mobil.
"Apaan sih nih bocah, ganggu aja. Gak bisa banget lihat abangnya lagi mesra-mesraan," gerutu Sadam.
Sadam keluar lebih dulu menghampiri Arash. Arash membukakan pintu untukku, mengulurkan tangannya membantuku keluar.
"Makasih anak ganteng," ucapku.
"Minggir! Biar gue aja, gue suaminya." Baru mau menerima uluran tangan Arash, Sadam dengan cepat mendorong Arash.
Aku ketuk kepala Sadam dengan ponsel dalam genggamanku. "Jangan suka dorong-dorong kayak gitu. Kalau cemburu tuh tahu tempat, lihat orang."
"Aku sadar kok. Kamu senyum sama Arash aja aku cemburu loh, tahu gak?"
"Gak jelas!" tukasku.
"Mau bagaimana pun Arash pernah suka sama kamu," kata Sadam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Roman pour AdolescentsTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...