Biasakan vote setelah baca ya 😊
🌺🌺
Sebelum dijemput Sadam, aku baru ingat. Posisi terakhir aku sedang di dapur mencari makanan. Sebegitunya menahan emosi pada Sadam, bisa- bisanya sampai lupa lapar.
Hei, lupa lapar?
Di dunia ini ada orang lupa lapar?
Mungkin ada beberapa, orang bisa lupa karena satu dan lain hal. Begitu bukan?
Sadam dan Arash masih sibuk bermain PS, sekiranya sudah satu jam lebih mereka masih enggan untuk menyudahi permainannya, sedangkan aku hanya menonton saja. Beberapa kali aku menguap, sudah meminta izin untuk pulang, tapi Sadam menahannya.
Katanya, "Nanti, tunggu gue selesai main PS. Kan lo tadi bilang, lo gak mau bawa motor karena gue yang jemput, jadi gue juga yang harus nganter lo pulang. Gitu, kan?" mau tidak mau, aku menunggu Sadam selesai main. Barangkali ia tak lama.
Betul- betul kegiatan yang membosankan, memperhatikan dua orang kakak beradik bermain PS, sampai melupakan aku yang masih duduk di samping mereka sambil memeluk lutut. Bukan hanya karena ngantuk, tapi juga lapar. Bisa kalian bayangkan sakitnya jika telat makan. Kalau sudah seperti ini, diisi salah, gak diisi makin salah.
Aku mengumpatkan wajahku diantara kedua lutut. Aku memilih tidur, setidaknya sakit di perutku bisa sedikit reda.
"Ra, bangun." Aku mendengar suara Sadam, aku mendongak menatap Sadam, kepala rasanya pusing sekali.
"Apa sih?" ucapku dengan sedikit membentak.
"Mau pulang gak?"
"Mau lah, pake nanya. Lo pikir gue disini ngapin? Gue nungguin lo."
"Yaudah ayo," ajak Sadam.
Uwek
Baru saja berdiri, perutku terasa mual sekali. Seperti ini rasanya kalau telat makan.
"Gue izin ke toilet dulu," pintaku pada Sadam. Tanpa menunggu jawaban Sadam, aku langsung pergi begitu saja ke toilet.
Selesai dari toilet, ternyata Arash menunggu di depan toilet, dengan senyum termanis versi Arash. Ah, jangan senyum seperti itu, dek. Kamu menambah beban hati dan pikiranku.
"Pakai ini kak, biar enakan." Arash memberikan botol minyak angin itu, aku menuangkan minyak angin itu secukupnya pada telapak tangan, aku berbalik membelakangi Arash, membuka sedikit bagian depan bajuku agar aku bisa mengoleskan minyak angin ini pada perutku.
"Makasih ya adek manis."
"Iya, kakaknya Arash yang lebih manis."
"Kak Haura pamit ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati- hati kak. Hati Arash masih di sini, terbuka untuk kak Haura." Aku hanya membalas dengan senyum, aku hanya tidak ingin Arash merasa aku memberinya harapan.
Aku berjalan keluar, menemui Sadam yang sudah siap di atas motor maticnya.
"Lo gak hamil kan, Ra?" kata Sadam dengan ekspresi sok khawatirnya.
Aku mendengus, menarik napas dalam- dalam, bagaimana berbicara dengan manusia ini seharusnya?
Aku melayangkan tasku tepat pada kepalanya. "Sadam, mulut lo bener- bener minta di sambelin."
"Ya maaf, lagian lo tiba- tiba mual. Gue pikir lo hamil."
"Asumsi lo gak diterima. Gak semua rasa mual itu dirasain sama orang hamil. Gue tuh masuk angin, lo gak peka, Dam. Dari tadi gue minta pulang karena gue laper, belum makan gara- gara lo dateng ke rumah jemput gue."
Sadam kini malah menatapku, setelah aku maki- maki tadi. Seutas senyum terukir setelahnya dari Sadam.
"Maaf lagi, maafin kan?" ucapnya lembut sekali. Aku bahkan sampai terpesona dibuatnya.
"Gak usah sok manis, gue maafin tapi sekarang gue mau pulang. Laper!" ujarku.
"Lagian, gue kasih lo cemilan ya, kenapa gak dimakan?"
Bukan tak mau, hanya saja terlalu diselimuti marah, sampai camilan serasa tak menarik untuk dimakan.
Baru setengah jalan, Sadam menepikan motornya di salah satu Warung Tegal.
"Turun nona! Lo mau nemplok terus di motor gue?" Sadam memperhatikanku yang masih saja diam. Sadam membuka pengait helm yang aku kenakan, dan aku hanya diam, tak menepis pergerakan Sadam, manik coklat yang mirip dengan Arash itu menatapku, "kalau gak gini, lo gak mau turun."
Sampai di dalam aku memesan ati ampela dan tumis jamur. Makanan ini adalah kesukaanku, tapi entah kenapa rasanya tak berselera. Mungkin karena telat makan.
"Katanya laper? Dimakan jangan di aduk- aduk doang, Ra." Sadam mengambil sendok yang aku pegang, dan menyodorkan satu sendok full nasi dengan lauknya kearah mulutku, "aaa... mangap gak? Gue tabok lo."
Aku berdecak, tak habis pikir dengan kata terakhirnya, "ck, apaan sih, kasar! Berani lo nabok gue?"
"Ya nggak lah, pake nanya. Ayo makan, mubazir, Ra," suruhnya lagi.
"Perut gue sakit, Dam," ucapku lirih. Nada suarnya nyaris seperti orang yang minta dikasihani.
"Lo punya maag?"
"Sedikit."
"Punya maag kok sedikit, sedikit juga kalau telat fatal kan?" Sadam mengusap- usap perutku, "perut, jangan nakal ya, jangan sakit, jangan mual, nona cantik ini mau makan. Nanti dia makin sakit, kalau sakit aku sedih, karena nona ini bisa berubah seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Dia galak kalau sakit. Perut jangan sakit lagi ya."
Setelah berbicara seperti itu, Sadam menatapku dengan senyum, "sekarang lo makan ya, dikit juga gak apa- apa." Entah kenapa, mendengar penuturan Sadam tadi perlahan sakitnya berkurang dan sedikitnya nafsu makan mulai membaik.
"Aa, kalau kita nikah, terus punya anak, aa bakal kayak si aa itu gak? Romantis banget. Aku yakin, bayi diperut si tetehnya pasti lagi nakal sama si tetehnya makanya si teteh mual dan gak nafsu makan."
Aku dan Sadam saling tatap, indra pendengaranku dan Sadam sama- sama menajam mendengar kata yang keluar dari dua sejoli yang sedang makan di meja samping kiriku.
Ah, rasanya ingin jadi Spiderman saja, biar aku bisa mengumpatkan wajahku.
Perlakuan Sadam yang barusan memang terlihat seperti seorang ayah yang tengah menenangkan anak yang ada di perut istrinya.
Tuk
Aku memukul kening Sadam dengan sendok. Merutuki ucapan Sadam barusan, "Itu buat mulut lemes lo."
Setelah selesai drama- drama tadi, Sadam berteriak memanggil Ibu penjaga Warteg, "Bu, berapa?"
"30 ribu, Mas." Sadam memberikan uang 50 ribuan. Sambil memberikan kembalian Ibu penjaga Warteg itu juga memberikan satu cup minuman pada Sadam, "rasa mual kalau hamil itu wajar mas. Apalagi hamil anak pertama. Coba kasih ini buat istrinya, ini air jahe dan sudah saya tambahkan madu biar gak mual. Ya sedikitnya bisa mengurangi rasa mual." Sadam melirik ke arahku yang tengah menatapnya nyalang.
Benar- benar ingin mengumpat, ingin menjadi Spiderman saja. Malunya sudah sampai ubun- ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Roman pour AdolescentsTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...